CM Roma

KEHADIRAN MISIONER

ROMO-ROMO CM PROVINSI ROMA DI KEUSKUPAN SURABAYA

 

Misionaris CM dari Provinsi Roma Tiba Pertama Kali 1964. Dua Misionaris Pertama: Rolando Siveri CM dan Carlo del Gobbo CM. Selanjutnya: 12 misionaris. Para Romo Italia diserahi secara penuh Wilayah Barat Keuskupan Surabaya Madiun, Ngawi, Ponorogo, Pacitan, Blora, Rembang, Cepu.

Siapa mereka

Romo-romo Rolando Siveri CM, Carlo del Gobbo (Karyanto) CM, Sebastiano Fornasari CM, Ernesto Fervari CM, Fulvio Amici CM, Carlo Liberi CM, Emilio Rossi CM, Abele Brunetti CM, Eugenio Bellini CM (wafat kecelakaan di Saradan 1979), Silvano Ponticelli CM (Wonoraharjo), Filippo Catini CM (atau belakangan menyebut diri Katimin), Valentino Bosio CM. Romo-romo Italia sangat entusias mendorong (dan menginspirasi) anak-anak muda masuk seminari. Dari contoh hidup mereka, banyak imam muda terinspirasi.

Fakta Menarik

Kehadiran mereka mengejutkan umat sederhana. Sebab, mereka bukan termasuk golongan “Londo” penjajah. Tapi, mereka termasuk “Londo”, karena tinggi besar dan bule. Mereka kerap disebut “Londo-Itali”. Mereka bertugas di wilayah dari Lasem, Blora, Rembang, Cepu ke selatan Ngawi, Madiun, Ponorogo hingga Pacitan. Jadi, dari pantai utara ke pantai selatan (wilayah barat Keuskupan). Kehadiran mereka sempat “membelah wilayah misi CM” di Keuskupan Surabaya. Sebab, dari tahun 1964 sampai 1975, para misionaris “Londo-Itali” ini menjadi bagian dari CM Provinsi Roma. Sempat memunculkan opsi (dari Mgr. Klooster CM) agar wilayah mereka menjadi keuskupan baru, di Madiun. Opsi itu secara positif untuk “mengembangkan” Keuskupan. Opsi itu juga karena entusiasme para misionaris dari Provinsi Roma, Italia sungguh menggembirakan. Namun upaya itu tidak terealisasikan, karena tenaga misionaris yang terbatas.

Kehadiran mereka: angin segar bagi Keuskupan Surabaya

Dekade enam puluh-tujuh puluhan wilayah keuskupan Surabaya terbilang miskin. Kantong-kantong kemiskinan ada di pedesaan. Ekonomi yang bobrok di era enam puluhan membuat banyak orang kelaparan. Daerah Ngawi, Ponorogo, Blora dan Rembang terpukul oleh kesulitan pangan. Para misionaris dari Italia datang dengan bantuan. Amat banyak dana telah dikeluarkan untuk mendukung karya misi mereka. Yang tampak jelas adalah Wireskat (rehabilitasi penderita kusta), pendirian sekolah, pembangunan gereja, pembangunan poliklinik, percetakan di Rembang, radio Gabriel Madiun, dan tak terhitung beasiswa bagi anak-anak sekolah serta karya sosial lain. Para misionaris “Londo-Itali” dikenal umat sebagai ramah, baik hati, dan akrab dengan anak-anak muda.

Awal misi Romo-romo CM Provinsi Roma di Keuskupan Surabaya 

Kehadiran mereka yang indah adalah atas undangan Mgr. Klooster CM. Ada beberapa peristiwa historis penting yang perlu diingat untuk mengerti undangan itu. Setelah perang, sekitar tahun 1948, pimpinan misi CM di keuskupan, Romo van Megen CM, sudah berkeluh kesah dalam surat kepada Jenderal CM di Paris. Para misionaris yang gigih sebelum perang, telah kehabisan energi. Mereka lelah dan “terluka”. Para misionaris muda yang baru tiba belum cakap bahasa Jawa. Tambahan lagi, suasana dekade lima puluh-enam puluhan adalah suasana pemulihan kembali dari kehancuran perang. Artinya, Gereja Katolik Vikariat/Keuskupan Surabaya jelas terpanggil untuk membangun kembali Indonesia yang telah terpuruk. Tahun 1953 terdapat surat yang ditanda-tangani berdua (Romo pimpinan CM, van Megen dan Vikaris Apostolik, Mgr. Klooster) yang meminta bantuan Romo dari Cina (tapi bantuan tidak datang). Tahun 1958, saat konflik diplomatik Indonesia-Belanda pecah, terdapat isu kekawatiran besar bahwa para warga Belanda akan diusir dari Indonesia. Meski isu itu tidak terbukti, kecemasan hebat melanda Vikariat. Apa yang akan terjadi pada misi ini, bila para misionaris diusir seperti yang dialami di Cina (setelah revolusi komunis 1949)? Mgr. Klooster jelas tak bisa minta bantuan Provinsi CM Belanda lagi. Selain kesulitan relasi diplomatik, juga panggilan telah mulai menurun di sana.

Dalam konteks krusial inilah, Uskup Surabaya melakukan negosiasi, memohon bantuan CM Provinsi Roma. Provinsial Roma, Rm Luigi Franci CM (paman dari Romo Ponticelli) menerima tawaran Mgr. Klooster. Dari dokumen perjanjian disebutkan, bahwa para Romo misionaris CM dari Roma akan diberi “wilayah khusus”. Wilayah khusus yang dimaksudkan adalah Rembang-Blora dan Madiun-Ponorogo. Sementara negosiasi berlangsung, telah muncul ketertarikan dari para Romo muda untuk berkarya di Indonesia. Mgr. Klooster melakukan pendekatan “hati”. Dia juga mengunjungi keluarga dari para misionaris ini, diantaranya keluarga Romo Ernesto Fervari yang di Italia Utara dan juga Romo Carlo del Gobo yang ada di Roma. Kelak, Mgr. Klooster terlihat sangat mencintai karya-karya para misionaris Italia ini dan amat berterimakasih atas jerih payah mereka.

Dengan demikian, karya misi para Romo Italia sungguh berangkat dari “kebutuhan mendesak” dari Keuskupan Surabaya. Seolah kedatangannya merupakan “penyelamatan” karya misi di Keuskupan. Kehadirannya mengukir “pluralitas” di Keuskupan Surabaya dan membangkitkan lagi semangat misioner di wilayah ini. Surat menyentuh ditulis Mgr Klooster sehubungan dengan wafat Romo Bellini CM karena kecelakaan di Saradan.

Bahwa karya misi itu menjadi bagian dari CM Provinsi Roma (dan tidak menyatu dengan CM Indonesia pada awalnya), itu sebuah Penyelenggaraan Ilahi. Bagi CM Provinsi Roma, misi di Indonesia merupakan sebuah kebanggaan, sebuah “cinta pertama” seluruh konfrater Provinsi Roma untuk Indonesia. Karena itu, karya misi ini mereka kelola secara bersama. Mereka menggalang dana bersama. Apa yang menjadi aktivitas di Indonesia disharingkan dan dipublikasikan dalam majalah misi, Bulettino Vincenziano. Dengan demikian, misi para Romo Italia juga membangkitkan dan menghidupkan semangat misioner Romo-romo dan umat di Italia. Tidak hanya itu, keluarga-keluarga para misionaris juga sangat bangga. Tidak hanya keluarga, melainkan juga paroki-paroki asal dari para misionaris, Romo-romo parokinya selalu menyebut intensi untuk para misionaris di Indonesia. Tak ketinggalan juga teman-teman satu kelas dengan mereka, terutama para romo diosesan yang menjadi pejabat Gereja (uskup) atau yang berkarya di Vatikan, mereka semua sangat mendukung karya misi para Romo CM di Indonesia.

Maka, bila sejak 1964 hingga 1975 para misionaris Italia memiliki “kemandirian misi”, halnya justru menampilkan cara kerja Penyelenggaraan Ilahi. Mereka tidak sedang mendirikan “kerajaan” sendiri, melainkan mewartakan Kerajaan Allah, seturut panggilan Gereja.

Kehadiran misionaris Italia di Keuskupan Surabaya memberi warna baru sebuah misi. Misi itu: menanggapi panggilan mengabdi Gereja.

Sumber:

Armada Riyanto, Museum Misi (Booklet), 2014.