Diocese Surabaya

SEJARAH KEUSKUPAN SURABAYA & CM INDONESIA

 Tahun-Tahun Perjalanan Historis

Armada Riyanto CM

 

[Sejarah Keuskupan Surabaya di tahun-tahun awal hingga terbentuknya keuskupan tidak bisa dibedakan dari sejarah CM Indonesia. Dan, sebaliknya. Sebab, seluruh resources CM tercurah untuk membangun, mendirikan Keuskupan dan mengantarnya kepada kemandirian. Pada masa-masa awal pimpinan CM adalah pimpinan Prefekturat Surabaya. Sebelum tahun 1961, bahkan surat-surat ditandatangani oleh dua pimpinan, Vikariat dan pemimpin misi. Sesudah itu hingga menjelang penghujung dekade delapan-puluhan, secara finansial, masih “bersama” tergantung pada CM provinsi Belanda. Rangkaian peristiwa di bawah ini merupakan produk studi dari berbagai sumber archives di Paris, Boxmeer-Sta Agatha, Panningen-St Josef, Nijmegen, Roma-Leoniano dan Roma-Generalat dll., dan dikembangkan dari buku 80 Tahun Romo-Romo CM di Indonesia (2003). Penulisannya lebih menekankan tahun-tahun awali dan kurang memberikan info detil di empat puluh tahunan terakhir.]

 

SEBELUM 1923

       Tahun 1810 Romo H. Waanders Pr tiba di Surabaya dan mendirikan Gereja Katolik pertama 1822 (di sekitar Jalan Cenderawasih). Tahun 1835 Santo Yohanes Gabriel Perboyre CM selama satu bulan mampir di Surabaya dalam perjalanan misionernya ke Cina. Surabaya kala itu menjadi “stasi” dari wilayah Jakarta (Vikariat 1842). Mulai tahun 1859 Romo-romo Yesuit dipanggil berkarya sampai 1923. Para Bruder dari Oedenbosch (CSA) dan Suster Ursulin diundang menangani sekolah-sekolah anak laki2 dan perempuan. Saat itu karya misi terarah kepada pelayanan umat Belanda/Eropa, karena hukum kolonial.

       Hukum kolonial melarang pewartaan Injil kepada masyarakat di luar Belanda/Eropa. Peraturan ini dimaksudkan untuk mencegah konflik yang mengganggu perdagangan. Perseteruan antara Mgr. Groof dan Gubernur Jenderal Rochussen tahun 1846-1847 mengenai pemecatan imam di Surabaya mengakibatkan diharuskannya para misionaris memiliki surat ijin berkarya di tanah misi, yang disebut surat Radicaal (di dalamnya misionaris dilarang melakukan aktivitas mengganggu kepentingan pemerintahan kolonial). Dalam catatan historis tahun 1900, hanya terdapat 10 Katolik Jawa di Surabaya; dan di tahun 1921, ada 25 umat Katolik Jawa saja. Sejak 1923 para Romo CM dipanggil membangun Gereja Katolik juga di antara masyarakat Jawa, Madura, Cina, Eropa, dan semua orang.

1923

       Romo-Romo CM  pertama tiba. Diserahi tiga Wilayah karesidenan: Surabaya, Rembang, dan Kediri: Th. de Backere CM, Jan Wolters, E. Sarneel, Th. Heuvelmans, C. Klamer. Umat Katolik Jawa tahun 1923: 40 orang; Mayoritas umat Katolik Belanda/Eropa.

       CM diutus Propaganda Fide (Kardinal van Rossum CSSR, Prefek-nya) untuk mengembangkan Gereja misi di wilayah ini, menggantikan dan melanjutkan misi para Romo Yesuit.

1924-1925

       Misi dijalankan dengan banyak kunjungan baik di Surabaya maupun daerah2 di luar kota Surabaya. Romo Wolters CM “dibebas-tugaskan” dari pastoral di Surabaya untuk mencari umat di desa-desa.

       Suster Roh Kudus (SSpS) diundang Romo de Backere CM (Superior misi Surabaya) menangani RKZ St. Vincentius Undaan (1925). Dalam beberapa surat awali-nya, Romo de Backere meminta para suster PK Belanda, tetapi PK tidak sanggup karena kekurangan tenaga.

     Pendirian Yayasan “Yohanes Gabriel” untuk karya pendidikan, kesehatan, sosial; dan pendirian sekolah di Wonokromo (1925). Saat itu semua karya berada dalam satu yayasan. Nama diambil dari Santo Martir Yohanes Gabriel Perboyre CM.

      Gereja Katedral rusak berat dan harus dipugar (1924).  Biaya untuk pemugaran terbilang sangat besar waktu itu. Misi CM baru mulai, beban finansial mulai bertambah.

       Paroki Kediri berdiri (1924).

1926-1927

       Persiapan Pendirian Prefekturat Surabaya. Jumlah umat  Katolik Jawa makin bertambah banyak. Para misionaris giat pergi ke desa-desa.

       Pendirian sekolah HIS pertama di Blitar (1926).

       Wilayah Madiun diserahkan ke misi Romo-Romo CM.

       Gereja St. Yusuf Blitar mulai dibangun (1927).

       Pendirian Yayasan Don Bosco oleh Rm ter Veer CM (1927). Karya Don Bosco sebagai rumah anak-anak yatim piatu mulai dengan pendirian yayasan.

1928

       Pendirian PREFEKTURAT Surabaya. Mgr. Th. de Backere CM Prefek Apostolik Surabaya: Parare vias Domini (Persiapkanlah jalan-jalan bagi Tuhan).

       Penerbitan majalah Katholieke Gids, Majalah Prefekturat Surabaya. Majalah ini sangat penting bagi karya misi di keuskupan Surabaya.

       Jumlah misionaris CM makin bertambah setiap tahunnya. Karya misi dijalankan dengan penuh semangat.

       Umat berkembang pesat di Blitar-Kediri dan Surabaya. Pemberkatan Gereja St. Wilibrordus, Cepu.

1929

       Malaise (krisis) ekonomi dunia. kekawatiran besar kekurangan dana untuk karya misi. Mgr. de Backere CM mulai cemas dengan kelangsungan karya misi.

       Foto pertama para baptisan baru di Blitar. Karya misi di Blitar kelak akan ditulis dalam buku berjudul KRUIS EN KRIS (Salib dan Keris), tulisan Rm Anton Bastiaensen CM, buku tentang “buah-buah” misi awali.

       Mgr. de Backere CM merindukan pendirian seminari di prefekturat Surabaya sejak 1927.

1930

       Tujuh tahun sesudah kedatangan, Romo-Romo CM digembirakan oleh  banyaknya baptisan baru.

       Para misionaris giat sekali mendirikan sekolah-sekolah desa di mana-mana terutama Blitar dan Kediri. Hal yang sama juga dikerjakan di wilayah Madiun.

1931-1932

       Kedatangan para Suster Puteri Kasih untuk berkarya di rumah Don Bosco, di Ngemplak (1931). Mula-mula di Ngemplak, selanjutnya pindah ke Jalan Tidar Surabaya.

       Sudah terdapat 59 sekolah yang didirikan Yayasan Yoh. Gabriel, terutama banyak sekolah desa. Romo-romo van Megen, Romo Bastiaensen, dan Romo Wolters bekerja keras mendirikan banyak stasi di Blitar dan Kediri; sementara Romo Kock di Madiun.

       “Retret pertama” umat Blitar (1932). Pembinaan umat dijalankan dalam retret yang dipimpin oleh seorang imam dari Semarang.

       Klinik St. Melania Surabaya dibuka (1932)

1933

       Sepuluh Tahun peringatan misi CM: perkembangan jumlah umat pesat. Jumlah sekolah desa berkembang. Tetapi dilanda kecemasan besar kekurangan finansial. Mgr. de Backere cemas dan kesehatan merosot. Ia menyebut diri sebagai “Uskup yang tak punya tongkat kecuali tongkat untuk mengemis”.

       Dwidjosoesastro masuk novisiat CM di Panningen bersama dengan seorang teman yang kemudian mengundurkan diri.

       Rumah Prefek Apostolik pindah ke Ketabang (paroki Kristus Raja) dari Jalan Kepanjen No. 9.

       Tahun berdirinya paroki Ketabang (Kristus Raja).

1934-1935

       Kunjungan provinsial CM Belanda: Romo Meuffels CM (1934/1935). Romo Provinsial mendukung karya misi di prefekturat Surabaya. 

       Dana misi di Prefekturat Surabaya makin menipis. Yang dimaksud dana ialah dana untuk menggaji para guru sekolah-sekolah desa di Blitar, Kediri, Madiun dan tempat-tempat lain. Kesulitan dana merupakan imbas dari depresi ekonomi dunia.

       Romo Smet menjadi Superior Misi CM (1934)

       Romo Bastiaensen CM Superior Misi CM (1935)

       RKZ St. Vincentius Jalan Diponegoro dibuka (1935)

1936-1937

       PENDIRIAN Gereja Pohsarang (1936). Romo Wolters CM pendirinya; Ir. Maclain Pont arsiteknya. Gereja ini dipandang sebagai antisipasi inkulturasi Konsili Vatikan II. Romo Wolters dikenal sebagai pecinta kebudayaan Jawa, demikian pula dengan Insinyurnya.

       Duka dalam karya misi: Romo van Hal CM dan Romo Andreas Weda CM wafat. Karya misi kehilangan dua tenaga muda yang handal (1936). Romo van Hal sekretaris Prefek, sementara Romo Weda adalah imam muda, yang baru berkarya 2 tahunan.

       Mgr. de Backere jatuh sakit dan harus pulang ke Belanda untuk selamanya (1936). Pro-prefek apotolik: Romo Zoetmulder CM (1937).

       Don Bosco pindah ke Jalan Tidar (1937). Kapel Don Bosco yang dibuka untuk umum 1938; tahun ini pula dipandang sebagai cikal bakal Paroki St. Vincentius Widodaren, Surabaya.

1938-1939

       Kedatangan Mgr. Michael Verhoeks CM sebagai Prefek Apostolik Surabaya.

       Misi Surabaya dilanda krisis finansial.

       Pemancangan pondasi pembangunan Gereja baru St. Cornelius Madiun.

       Sementara pendirian stasi-stasi di daerah Blitar, Kediri, dan Madiun berkembang, juga karena  kehadiran para guru awam (sekaligus katekis), meski krisis finansial masih terus membayangi.

1940

       Mgr. Verhoeks banyak melakukan kunjungan ke paroki-paroki dan stasi.

       Mgr. Verhoeks sejak awal ingin melanjutkan kerinduan Mgr. de Backere membangun seminari menengah. Tetapi, terus tertunda juga karena kedatangan Jepang segera, disamping alasan finansial.

       Krisis makin hebat karena ancaman Perang Dunia II. Karya misi memasuki periode gelap.

       Frater-frater BHK datang berkarya di Surabaya.

1941

       Pendirian VIKARIAT Apostolik Surabaya 16 Oktober 1941 (sumber: AAS XXXIV 1942, 187).

       pemberkatan Gereja Katolik Magetan. Para misionaris terus giat mendirikan stasi2 dan sekolah2 desa.

       Tahun “terakhir” buku Tahunan Gereja Katolik Indonesia dan Katalog CM (baru tahun 1946 dimulai lagi). Perang Dunia II mulai. 

       Dwidjosoesastro CM yang berasal dari Madiun (CM pertama Indonesia) ditahbiskan di Belanda. Tetapi, tidak bisa pulang karena situasi dunia sedang dilanda perang.

1942-1944

       Mgr. M. Verhoeks CM ditahbiskan oleh Mgr. Soegijopranoto sebagai Vikaris Apostolik Surabaya (1942): Ut omnes unum sint (semoga semua menjadi satu). Kisah tahbisan agung, namun sunyi (karena Jepang telah mendarat di Surabaya) ditulis apik oleh Romo Jan Wolters CM.

       Agresi Jepang. Para misionaris dan Vikaris Apostolik dijebloskan ke Interniran di Cimahi. Penderitaan besar bagi misi Gereja Katolik. Banyak stasi dan sekolah desa di Blitar, Kediri, dan yang lain terlantar(1942-dst)

       Rm. Ravesteijn CM wafat di laut Jawa, kapal-nya dibom Jepang. Romo Bruno wafat di Makasar. Para Romo menderita di Interniran Cimahi: Romo Gerard dianiaya secara fisik dan dijatuhi hukuman mati; Romo van Goethem dihajar hingga tidak bisa jalan; Romo van Megen hampir mati dan “diselamatkan” tikus yang dibakar oleh para konfraternya; Sr. Louise PK wafat di interniran Semarang.

1945

       Proklamasi Indonesia Merdeka.

       Gereja Kepanjen dibakar dan hancur tanggal 12 November 1945.

       Setelah bebas dari Interniran Jepang, beberapa misionaris ditahan di penjara oleh tentara rakyat, karena “salah paham” digolongkan sebagai bagian dari “penjajah” Belanda.

       Dibyokaryono Pr ditahbiskan (imam Vikariat pertama), tetapi kesehatannya tidak memungkinkan Romo Dibyo pergi ke stasi-stasi.

       Mgr. de Backere CM wafat di Belanda.

       Saat misionaris di internir, dua imam dari Semarang membantu melayani umat di satu dua kota. Banyak stasi terbengkelai dan tidak bisa dipulihkan lagi; sebagian yang lain bisa dipulihkan.

1946-1947

       Kedatangan para misionaris CM dalam jumlah besar (12 romo CM). Di lain pihak para Romo yang keluar dari Interniran segera ke Belanda untuk pemulihan kesehatan.

       Romo Dwidjo CM kembali ke Indonesia, menjadi Pro-Vikaris apostolik untuk wilayah “Barat”, Madiun dst.

       Hadisoedarso Pr ditahbiskan imam, yang dipuji Mgr Verhoeks sebagai “imam yang giat” melayani umat saat misionaris di penjara.

       Romo van Megen Superior Misi CM (1947). Para misionaris kelelahan dan sakit setelah diinternir dan dipenjara.

1948

       Kedatangan “delapan pemuda” bersama Rm Dwidjo CM ke rumah Jalan Kepanjen 9 Surabaya. Kedatangan mereka dipandang sebagai tanggal Awal Pendirian SEMINARI Vikariat Surabaya, St. Vincentius a Paulo untuk pertama kalinya.  Rektornya Rm van Megen CM

       Di lain pihak, perang “Agresi militer kedua” terus berlangsung di sekitar Mojokerto (wilayah Vikariat Surabaya). Peran damai Mgr. Michael Verhoeks CM sungguh tidak mudah.

       Banyak karya misi di stasi-stasi terlantar dan terbengkelai.

1949

       Seminari Vikariat Surabaya pindah ke gedung jalan Dinoyo 42 Surabaya (sekarang Widya Mandala). Rektornya Romo van Driel CM. Romo yang sama kelak akan mengurus pembelian dan pembangunan Seminari St. Vincentius a Paulo di Garum.

       Dalam catatan sensus, umat Katolik Belanda tahun ini ada 20.000; sementara umat Katolik Indonesia 2000 (sesudah perang). Kelak tahun 1960, umat Belanda merosot hingga 1500-an saja; sementara umat Indonesia menjadi 22.000 (Piet Boonekamp 1974, 985).

       Penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia. CM  Indonesia bersiap-siap menjadi Vice-provinsi.

1950-1951

       Masa-masa pemulihan karya misi yang hancur selama pendudukan Jepang.

       Vikariat Surabaya kedatangan beberapa misionaris CM yang diusir dari Cina, karena revolusi komunis, yaitu Romo Paul Janssen CM dan Romo Piet Boonekamp CM.

       Pendirian VICE PROVINSI CM Indonesia, Vice-provinsialnya: Romo van Megen CM (sampai 1958).

       Romo Kumoro Pr ditahbiskan (1951)

       Kedatangan Suster2 SPM di Surabaya (1950) menggantikan para Suster Ursulin yang merasa kekurangan tenaga setelah juga terdapat biara di dekat Katedral Hati Kudus Yesus.

1952

       Mgr. M. Verhoeks CM wafat, karena kesehatan merosot sejak diinternir Jepang. Rm. van Megen CM menjadi Pro-Vikaris Apostolik.

       Murid seminari di Jalan Dinoyo 42 mencapai 40 siswa. Mulai dirasakan kurang cukup luas dan kurang besar untuk jumlah siswa seminari yang terus meningkat.

       Windrich Pr (1952) ditahbiskan imam (imam diosesan keempat).

1953-1954

       Mgr. Johannes Klooster CM menjadi Vikaris Apostolik Surabaya.

       Vikariat Surabaya mengalami lagi kesulitan finansial, karena bantuan dari Belanda berhenti (kaitan banjir akibat jebolnya Dam Utara Belanda: uang Gulden dilarang keluar Belanda).

       Tak hanya finansial, melainkan juga kekurangan tenaga. Pimpinan CM minta bantuan Romo CM Cina tapi visa sulit.

       Pendirian Seminari Tinggi CM filsafat di Rembang (1954). Selesai Rembang, frater CM kelak ke Panningen, juga Genova dan USA.

1955

       Vikariat Surabaya menaruh perhatian pada sekolah dasar, menengah, dan pendirian perguruan tinggi. Mgr. Klooster bekerja sama dngan para Romo hendak mendirikan universitas. Di tahun-tahun ini juga pendirian Sekolah Kejuruan, seperti Mater Amabilis, dst.

       Kreativitas Romo Paul Janssen CM: pendirian Sekolah Guru B-1 (B-satu) di Gringging, Kediri lalu pindah ke Madiun, cikal bakal FKIP Widya Mandala Madiun (lalu universitas). Di tahun-2 selanjutnya: Akademi Kateketik Indonesia (AKI, kini STKIP) Madiun, dan bersama Mgr. J. Klooster CM dan beberapa konfrater dan umat juga Universitas Widya Mandala Surabaya. 

1956-1957

       Seminari Menengah St. Vincentius Jalan Dinoyo Surabaya pindah ke Garum, Blitar. Rektornya: Rm Verbong CM (pembukaan  tahun 1958). Saat tanah dibeli dan gedung dibangun, konsesinya: sebagian dipakai untuk novisiat CM dan tahun filsafat.

       Novisiat CM pertama di Garum  dan seminari tinggi CM (gedungnya bergabung dengan Seminari Menengah). Rm. Anton Bastiaensen CM adalah direktur novisiat.

       Seiring dengan pemilu pertama, Vikariat menaruh perhatian pada bidang pendidikan dan politik. Romo Verbong mengurus kerasulan mahasiswa.

1958-1959

       Pendirian PROVINSI CM Indonesia. Provinsialnya: Rm Willem Janssen CM.

       Pembentukan Yayasan Widya Mandala Surabaya. Selanjutnya: Universitas.

       Konflik diplomatik Belanda-Indonesia. Konflik ini sangat menggetarkan, karena para pimpinan CM takut jangan-jangan mereka diusir keluar Indonesia. Vikariat kekurangan tenaga imam. Vikaris Apostolik bersama pimpinan CM minta bantuan Romo Jenderal CM. 

       Kunjungan Kardinal Agagiani ke Vikariat Surabaya (1959).

       Reksosubroto CM – Sastropranoto CM ditahbiskan imam (1959).

1960-1961

       Pendirian KEUSKUPAN SURABAYA (dan keuskupan-keuskupan Indonesia dengan Bulla “Quod Christus”; Mgr. Johannes Klooster CM USKUP Surabaya (1961). Surabaya telah menjadi keuskupan, tetapi keadaan finansial dan tenaga masih jauh dari kemandirian.

       Pendirian Paroki Bojonegoro (1961).

       Pendirian ALMA oleh Rm Paul Janssen CM (1960): pelayanan anak-anak cacat.

       Haryanto CM – Sunaryo CM ditahbiskan imam (1960)

       Beberapa frater CM dikirim ke Sydney (1960). Satu dua yang lain ke Yogyakarta.

1962-1963

       Konsili Vatikan II mulai sampai tahun 1965. Hadir Mgr. Klooster CM dg peritus teologi Rm Paul Janssen CM.

       Seminari Tinggi CM di Kediri mulai dibangun.

       Rm. Anton Bastiaensen CM wafat di Kediri. Dia mendirikan banyak stasi di Blitar dan penggiat juga “perkumpulan pemuda / petani” Pancasila. Untuk selanjutnya perkumpulan ini dikembangkan.

       Tahun 1963, saat Mgr Klooster menahbiskan para frater CM di Genoa, ikut pula Romo Lugano Pr menjadi misionaris di Keuskupan Surabaya.

1964

       Mgr. Yohanes Klooster CM meminta bantuan CM Provinsi Roma. Kedatangan dua misionaris CM Italia pertama: Rm Carlo dan Rm Siveri. Bantuan tenaga misi yang sudah lama dirindukan.

       Misionaris CM Italia mendapat daerah misi tersendiri: Rembang, Blora, dan Madiun. Romo-romo CM Italia berkarya misi “mandiri”, dan baru bergabung dgn CM Provinsi Indonesia tahun 1976.

       Kelak mereka mendirikan percetakan Sang Timur (Rembang) dan banyak kerasulan di paroki2 wilayah Barat Keusk. Surabaya.

       Seminari Tinggi CM Kediri berjalan.

1965-1968

       Pembentukan Dewan Keuskupan dan Dewan Imam di Surabaya, seperti yang dimaksudkan oleh KV II.

       Tahun-tahun ini Indonesia dilanda ketegangan konflik (1965). Situasi politik memanas. Pemerintah mengeluarkan peraturan “wajib beragama” (1966); Baptisan massal di wilayah Ponorogo dan banyak stasi Blitar dan tempat lain.

       Terjadi kelaparan di beberapa stasi terutama di wilayah misi para Romo Italia: Ngawi, Ponorogo, dan di tempat lain.

       Digiatkan pendirian LKD (Lembaga Karya Darma) dan organisasi Pekerja Pancasila, Petani Pancasila (sejak lima puluhan), dan seterusnya.

1969-1970

       C. Reksosubroto CM adalah Provinsial CM Indonesia (1969). 

       Pendirian IPI di Malang oleh Romo Paul Janssen CM (1968/1969).

       Tahun 1969 terbit Kamus Latin-Indonesia, Karl Prent CM penanggung jawab dan pembuatnya bersama tim.

       Persiapan Pendirian Seminari Tinggi Bersama CM dan O.Carm (STFT) dimulai (SVD diajak berunding pada awalnya), seiring dengan kehendak Konsili Vatikan II dan Gereja Indonesia.

       Di sekitar awal dekade 60-an Romo-Romo SVD yang memiliki rumah transit di Surabaya diminta Mgr. Klooster membantu berkarya di Keuskupan.

1971

       Seminari Tinggi CM di Kediri pindah ke Malang, seiring dengan pendirian STFT Widya Sasana Malang (dalam kerjasama dengan Ordo Karmel). Selanjutnya STFT itu membina para calon imam dari berbagai Kongregasi religius dan dari keuskupan-2 Malang, Surabaya, Bali, dan delapan keuskupan Kalimantan.

       Keuskupan Surabaya makin banyak dianugerahi para calon imam diosesan. Berkah yang menggembirakan para misionaris CM.

1972

       Romo Ernesto Fervari CM dan para Romo Italia membangun Wireskat, sebuah perumahan bagi rehabilitasi penderita kusta di Blora.

       Romo van Steen CM (atau Romo Y. Wadas) mendirikan majalah BUSOS (buletin Sosial), di dalamnya terdapat ajaran sosial Gereja Katolik. Disamping itu juga pendampingan para buruh Keuskupan Surabaya.

1973-1974

       Ignatius Suharto CM Provinsial CM Indonesia.

       Romo-Romo Italia yang secara mandiri diserahi wilayah Barat sangat giat dalam membangun di banyak stasi: sekolah dan poliklinik di Blora, Rembang, Lasem, Ngawi, Ponorogo, Tulungagung, Madiun, dan Cepu. Romo Carlo sempat pula mendirikan stasiun Radio Gabriel di Madiun.

1975

       Para Bruder CSA menghibahkan penanganan Sekolah Sint Louis dan SD Aloysius kepada para Romo CM. Karena kekurangan tenaga bruder.

       CTC (communication training center) berdiri di Surabaya oleh Romo Tondo CM.

       Keuskupan terus menggiatkan partisipasi para guru awam untuk mengajar agama seperti menjadi tradisi tahun2 sebelumnya.

1976-1979

       Datang para misionaris CM yang diusir Komunis dari Vietnam. Mereka berkarya di Kalimantan: Rm Dethune, Rm Gros, dan Rm Berset. Juga datang Rm Robert Crowford (asal USA).

       Para misionaris CM dari Italia yang berkarya di Madiun, Blora, dan Rembang, Ponorogo bergabung (unifikasi) dengan CM Provinsi Indonesia.

       Romo Eugenio Bellini CM wafat dalam kecelakaan mobil. Duka mendalam di Keuskupan Surabaya. Romo Bellini CM bertugas di Magetan dan Ngawi.

1980

       Program Novisiat CM Indonesia di Filipina. Program ini dijalankan sampai tahun 1992.

       CM dipanggil berkarya di paroki Cilincing, Keuskupan Agung Jakarta.

       Perkembangan ekonomi makin melebarkan kota Surabaya dan bermunculan perumahan-perumahan baru. Seiring itu pula makin berkembang umat Katolik di kota dan pendirian paroki-paroki baru.

1981-1985

       Mgr. Aloysius Dibyakaryono Pr Uskup Surabaya. Mgr. Dibyo banyak menjalin relasi dengan pimpinan pemerintahan di daerah-daerah.

       St. Reksosusilo CM Provinsial CM Indonesia.

       Keuskupan makin bertambah calon imam diosesannya. CM makin terpanggil menekuni kharisma Kongregasi: pendidikan calon imam, pelayanan orang miskin, dan pembinaan awam.

       STFT Widya Sasana menempati kampus baru di Jalan Rajabasa 2.

       Perayaan 450 Tahun Gereja Katolik Indonesia.

       Di seputar tahun ini terdapat upaya kreatif mendirikan kelompok Alocita oleh Romo Uroto Pr dan Immanuel Subangun dkk.

1986-1987

       MISI UMAT mulai dikerjakan dengan Live-in di Pare. Inisiator: Romo Ponticelli CM dan para frater. Karya Misi Umat ini kelak menjadi penyegaran umat paroki-paroki Keuskupan Surabaya, juga di Banjarmasin, Malang, dan Jakarta.

       Pendirian Rumah Retret GSV (griya semedi Vincentius) di Prigen.

       Rm van Steen merintis kerukunan pekerja Katolik (KPK).

       Kreativitas Romo Reksosubroto CM: Warung sosial “Broto” dan koperasi simpan pinjam.

       Romo Adam van Mensvoort CM, rektor seminari Garum, wafat dalam kecelakaan mobil. Duka mendalam di seminari dan Keuskupan Surabaya.

       Terbit majalah “Serikat Kecil” oleh para frater CM Langsep.

1988-1991

       Anton Tanalepie Budianto CM Provinsial CM.

       CM diminta membina seminari tinggi, para frater Projo Sintang di Bandung.

       Pendirian Rumah Retret Domus Mariae, Sarangan oleh Rm S. Fornasari CM (1989).

       Mgr. J. Klooster CM wafat di Kediri.

       Menurut Romo Piet Boonekamp CM (sekretaris keuskupan Surabaya selama 25 tahun-an), di tahun-tahun ini Keuskupan Surabaya mandiri juga dalam hal finansial, seiring kemajuan ekonomi Indonesia

1992-1994

       Seminari di dekat Candi Badut telah jadi. Terdapat dua unit:  Unit Ghebre Mikael untuk frater S2 dan Unit Yustinus de Jacobis untuk novisiat (1993).

       Program pengiriman para novis ke Filipina berhenti. Novisiat CM di Malang mulai (1993).

       F. Harjodirono CM Provinsial CM (1993).

       Mgr. J. Hadiwikarta Pr Uskup Surabaya (1994).

       Mgr. Hadi dengan dokter Agus dan umat nantinya membangun perluasan Gua Pohsarang di tahun2 selanjutnya.

1995-1998

       Rm Anton de Britto CM berangkat misi ke Taiwan (1994).

       Rm Reksosusilo CM berangkat misi Solomon Islands (1996).

       Diterbitkan Norma CM Provinsi Indonesia (1995).

       CM dipanggil membuka paroki Batu Licin, keusk. Banjarmasin (1997).

       PUSDIKLAT di Nanga Pinoh, Kalbar, oleh Romo Carlo CM (1998).

       Pendirian YMM (Yayasan Merah Merdeka) oleh Romo Gani untuk anak-anak miskin (1998). Di Malang: VCI (Vincentian Center Indonesia) oleh Romo Eko Prast CM dan kawan-kawan. Karya di Malang terus dikembangkan juga ke bimbingan belajar anak-anak.

1999-2003

       Antonius Sad Budianto CM Provinsial CM (1999).

       Pendirian Tabloid Rohani Keuskupan Surabaya: Yubileum (1999) oleh para Romo Diosesan; Pendirian YUBILEUM tidak terpisahkan juga dari upaya melanjutkan tabloid SUKA (Suara Umat Katolik) yang pernah dirintis oleh Romo van Steen CM dan Romo Anton de Britto CM.

       Misi-Umat di Keuskupan Malang  di Batu (2002), dan selanjutnya juga Banjarmasin dan kelak Jakarta.

       Pembentukan MAVI (Misionaris Awam Vinsensian Indonesia) (2002).

       KEVIN (Keluarga Vinsensian) makin digiatkan dan dihidupkan.

       Mgr. Dibyakaryono Pr wafat (2002).

       Mgr. Hadiwikarta wafat (2003).

       Julius Haryanto CM Administrator Diosesan Surabaya (2003).

2003-2013

       Perayaan 80 Tahun Misi Romo-Romo CM di Indonesia (2003).

       Rm Edi Prasetyo CM misi ke PNG (2003)

       Paulus Suparmono CM Provinsial Indonesia (2006)

       Mgr. Vincentius Sutikno Visaksono Uskup Surabaya (2007)

       Conventio Scripta Keuskupan Surabaya & CM (2008)

       Romo Julius Haryanto CM, mantan Administrator Keuskupan Surabaya wafat (2008).

       Pendirian Tahun Rohani keusk Surabaya dan  Seminari Tinggi Providentia Dei (2009).

       Pendirian Gubuk Lazaris (pertanian organik) di Kediri oleh Rm Hardo Iswanto CM (2010)

       Robertus Wijanarko CM Provinsial Indonesia (2011)

       Pendirian Museum Misi CM-Keuskupan Surabaya (2013).

 

Dari Berbagai Sumber.