Panorama

NUKILAN PANORAMA

Armada Riyanto CM

Tahun 1923 merupakan tahun kedatangan lima Romo misionaris CM yang pertama di Surabaya. Mereka dipanggil oleh Kongregasi Propaganda Fide dan diserahi tiga wilayah (Surabaya, Kediri, Rembang; dan juga Madiun 1927) yang menjadi cikal bakal keuskupan Surabaya. Dalam surat perutusannya, di Surabaya sudah ada Gereja Katedral yang terancam rusak, Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria (Kepanjen), dan Gereja Katolik pertama (berdiri 1822) yang sudah tidak dipakai yang terletak di antara Roms Katholieke Straat dan Komedie Plein (sekarang di sekitar jalan Cenderawasih). Umat Katolik sebagian besar Eropa dan sebagian lain Cina. Umat Katolik Jawa: 40 orang.

Sejarah Kekatolikan di Surabaya bermula dari kedatangan Romo H. Waanders Pr (1810). Kedatangannya untuk mengunjungi umat Belanda Katolik. Sebab, Gereja Katolik di Belanda telah “dipulihkan” keberadaan-nya setelah kalah dari Napoleon dari Prancis. Pemerintah kolonial di Hindia Belanda (Indonesia) yang Protestan juga mulai membolehkan umat Katolik melaksanakan peribadatan seturut imannya. Romo Waanders mendirikan Gereja pertama (1822). Pada tahun 1835 Yohanes Gabriel Perboyre CM, misionaris CM Prancis yang hendak ke Cina mampir di Surabaya selama satu bulan. “Sungguh indah Surabaya …”, kata misionaris yang kelak menjadi santo martir pertama di Cina.

Pada tahun 1859 Romo-romo Yesuit dipanggil. Mereka mewartakan Injil dengan giat di banyak wilayah Indonesia, termasuk Surabaya. Tetapi, karena hukum kolonial, misi hanya untuk umat Eropa/ Belanda. Surat Radicaal (semacam surat izin berkarya bagi misionaris di Hindia Belanda) mengata-kan kehadiran mereka dalam “jaminan” pemerintah kolonial, karenanya misionaris tidak bebas mewartakan Injil. Inilah sebab-nya jumlah umat Katolik Jawa sangat sedikit.

Saat para misionaris CM baru tiba, terdapat informasi awal bahwa ketiga daerah itu (karesidenan Surabaya, Kediri, dan Rembang) 20.000 km2 luasnya, kira-kira dua per tiga negara Belanda. Jadi, wilayah itu sangat luas! Jumlah penduduk 6 juta, dengan komposisi 5 juta lebih orang Jawa, 60 ribu keturunan Cina, dan 15 ribu orang Eropa. Menurut informasi terakhir terdapat 4.600 umat Katolik, terdapat 40 umat Katolik Jawa. Umat Katolik sebagian besar berasal dari Belanda, sebagian kecil Tionghoa. Jadi, jumlah umat di tiga wilayah itu kira-kira sama dengan satu paroki kecil masa kini.

Begitu kelima Romo CM pertama tiba, mereka membagi diri. Romo de Backere CM kepala misi; Romo Sarneel CM urus paroki; Romo Heuvelmans CM bagian umat Belanda; Romo Klamer, yang pandai bahasa Cina, bertugas pelayanan umat Cina. Ketika itu, tahun 1923, belum ada bahasa Indonesia. Keempatnya tinggal di Surabaya, tetapi karena iklim panas dan gangguan kesehatan, Romo Sarneel CM terpaksa pulang cepat ke Belanda.

Tugas Romo Wolters CM? Dialah Romo yang “tak punya tugas”. Dia bertugas keliling, mengunjungi (dan mencari) umat hingga pelosok-pelosok pedesaan, dari pinggir laut Selatan hingga ke utara di lereng gunung Kelud di wilayah Blitar dan Kediri. Kerap dalam perjalanan yang sulit berbulan-bulan, Romo Wolters mengaduh, “Bagaimana mungkin wilayah seluas dua per tiga Belanda, hanya satu yang harus berkeliling mewartakan Kabar Gembira…” Syukurlah, di tahun-tahun berikutnya, bala bantuan tiba, seperti Romo van Megen CM dan Romo Bastiaensen CM. Ketiganya kerap dipandang sebagai pendiri banyak stasi di Blitar dan Kediri. Dan, banyak romo CM lain ke stasi-stasi.

Adalah cinta dari Romo pemimpin misi CM, bahwa Injil harus juga diwartakan kepada umat Jawa. Itu sebabnya, Mgr. de Backere CM kelak selalu mendorong para misionaris untuk belajar Bahasa Jawa. Dia juga mendesak para Romo untuk giat mendirikan sekolah-sekolah desa.

Tahun 1928 adalah tahun pendirian Prefekturat Surabaya, merupakan tahun cemerlang misi para Romo CM. Tetapi, tahun berikutnya Prefekturat dilanda krisis finansial, seiring dengan krisis ekonomi dunia (Malaise). Meski krisis, karya misi tetap dilanjutkan dengan giat. Pada tahun 1933, sepuluh tahun misi para Romo CM, jumlah sekolah-sekolah telah mencapai 56, sebagian besar merupakan sekolah desa di stasi-stasi. Sebuah pencapaian yang indah. Namun di tahun 1936, Prefekturat berduka, dua misionaris muda (Romo Weda CM dan Romo van Hall CM) wafat karena sakit.

Pada tahun yang sama, pembangunan Gereja Pohsarang dimulai, sebuah gereja yang hingga saat ini menjadi “magnet” bagian ribuan peziarah bukan hanya dari umat Katolik melainkan juga umat beriman lain. Romo Wolters CM pendirinya, Ir. Maclain Pont arsiteknya. Tetapi, tahun ini pula kesehatan Prefek Apostolik Surabaya, Mgr. de Backere CM merosot, dan harus pulang ke Belanda untuk selamanya.

Saat ada sukacita di tahun 1938, yaitu kehadiran pemimpin baru, Mgr. Michael Verhoeks CM, dan umat juga tumbuh pesat, tiga tahun berikutnya bencana hebat tiba. Jepang datang memorak-porandakan karya misi dan Perang. Para misionaris digiring ke Interniran, Cimahi. Stasi-stasi dan sekolah desa terlantar. Beberapa gereja dibakar, dijarah.

Tahun-tahun itu (1941-1946) menjadi momen tergelap dari sejarah misi. Di tahun 1942, status Prefekturat Surabaya dinaikkan menjadi Vikariat. Sesudah itu, saat para misionaris ada di Internir, Tuhan mengirim dua imam pribumi untuk melayani umatnya (dari Semarang). Selain itu, beberapa tokoh awam juga giat menjaga iman umat di stasi-stasi.

Tahun-tahun berikutnya merupakan upaya pemulihan. Tahun 1948, tibalah delapan pemuda diantar Romo Dwidjo CM ke pasturan Jalan Kepanjen 9. Kedatangan merekalah yang akan disebut “saat berdirinya” Seminari Menengah St. Vincentius a Paulo. Seminari itu lantas pindah di Jalan Dinoyo 42, kemudian Garum. Sementara Seminari Tinggi: mula-mula Rembang, Garum, Kediri, Malang.

Kedatangan panggilan2 baru sungguh menggembirakan. Para misionaris CM mulai menata pula pendidikan calon imam. Beberapa romo muda diosesan, Dibyokaryono Pr, Hadisoedarso Pr, Kumoro Pr, dan Windrich Pr adalah empat Romo pertama Vikariat (sampai 1952) yang giat bekerja.

“Pemulihan” karya misi kembali dihantam krisis tahun 1953 dan seterusnya karena Gulden dilarang keluar Belanda, akibat bencana Dam Utara (Belanda) jebol.

Sampai tahun 1960, Vikariat Surabaya sibuk mendirikan sekolah-sekolah baru, termasuk Sekolah Guru B-1 di Gringging, AKI (Akademi Kateketik Indonesia) kemudian STKIP oleh Romo Paul Janssen CM. Kelak Mgr. Klooster bersama Romo Janssen CM dan para romo CM lain juga Universitas Katolik Widya Mandala Madiun dan Surabaya.

Tahun 1961, Vikariat Surabaya menjadi Keuskupan. Status meningkat, tantangan baru tiba. Keuskupan dilanda kekurangan tenaga. Mgr. Klooster mengundang para konfrater CM dari Roma, Italia. Juga, Romo Lugano Pr “jatuh cinta” dengan tawaran Mgr. Klooster. Tahun 1964 adalah tahun mulai periode para misionaris Italia di Keuskupan Surabaya.

Para Romo CM dari Provinsi Roma Italia berkarya dengan giat di wilayah “Barat” Keuskupan dari pantai utara hingga pantai selatan. Mereka membangun Wireskat Blora, Radio Gabriel Madiun, percetakan “Sang Timur” Rembang hingga pendirian stasi-stasi di wilayah Ponorogo, Ngawi, Cepu dll., menjadi warisan indah. Kita ada di tahun 1970-1990-an.

Selanjutnya, perjalanan Gereja Keuskup-an Surabaya dibimbing oleh Tuhan menuju kemandiriannya. Perjalanannya ditampilkan di galeri Panorama.

 

Sumber:

Armada Riyanto, Museum-Galeri Misi, Booklet 2014.