First Baptism Blitar

Permandian Pertama di Blitar

 

Oleh Anton Bastiaensen CM (1929)

Dari buku Kreus en Kris (1934)

 

Telah empat tahun Blitar mempunyai HIS (Sekolah Dasar Belanda untuk pribumi), sejak dua tahun telah ada asrama untuk anak-anak Jawa masuk sekolah dan sejak dua tahun dua seminari menetap di sana. Disarankan untuk sangat hati-hati dalam mendapatkan kepercayaan dari para penduduk pribumi, ada kurang lebih empat puluh katekumen, yang datang dengan setia ke gereja dan pelajaran agama,…. dan akhirnya pada Sabtu Paskah terlaksanalah permandian pertama di Blitar.

      Seperti halnya seorang Uskup dalam upacara tahbisan imam, melihat di hadapannya calon-calon terpilih, penuh semanat yang berkobar-kobar, dengan gembira mengatakan kata-kata “Deo Gratias”, demikian juga bisik misionaris itu pada permandian para katekumennya yang pertama dengan penuh rasa syukur “Deo Gratias”. Terima kasih Tuhan, karena ini adalah karyaMu! Sebetulnya ada lima belas calon permandian tetapi seleksi yang hati-hati harus diterapkan, dituntut jaminan khusus demi kehidupan Katolik selanjutnya. Upacara permandian dilaksanakan pada Sabtu Paskah, bagi kami suatu “Alleluia” penuh kegembiraan. Beberapa orang Katolik Eropa dan donatur misi hadir. Juga hadir beberapa keluarga calon baptis dan tentu saja semua umat Katolik bangsa Jawa. Kita mulai dengan “Veni Creator” dalam bahasa Jawa, setelah itu sedikit kotbah di mana sekali lagi ditegaskan bahwa sebaiknya mereka pergi meninggalkan tempat sebelum permandian, bila mereka tidak memutuskan dengan tegas untuk hidup secara Katolik yang baik. Kata orang, Orang Jawa tidak memperlihatkan perasaannya tetapi saya menyaksikan sendiri bahwa air mata ke luar dan saya ikut terharu.

      Upacara berlanjut hampir dua jam, karena upacara harus diulang bagi masing-masing tersendiri. Sungguh mengesankan terutama pengakuan iman bersama-sama, “Bapa Kami”, doa tobat, langsung sebelum permandiannya sendiri. Akhirnya mengalirlah air yang menyucikan, dan umat Kristen baru ini menyanyikan pujian syukur penuh gembira menjadi “Putra Allah dan putra Gereja”. Berikut ini riwayat hidup dari empat diantaranya para permandian pertama.

 

1.    Martha M.

      M adalah putra seorang Lurah (kepala desa pribumi). Ayahnya hilang dengan cara yang penuh rahasia. Tak lama kemudian ibunya kawinlagi dengan Lurah Ps suatu desa yang makmur di lereng gunung Kelud. Karena penampilannya yang santun, dia menjadi tokoh penting; demikian juga putrinya. Pantaslah bahwa segera muncul calon suami bagi anak yang baru berusia 9 tahun itu. Seorang anak muda, juru tulis dari pekebunan karet dan kopi di wilayah itu, dan cocok denga selera orang tua. Tetapi sesuai peraturan agama Islam, umur pihak wanita minimal 12 tahun. Jalan ke luarnya; pihak lurah mencari dua orang yang sanggup bersumpah di muka penghulu, tentu saja dengan biaya yang lumayan, bahwa anak it sudah berusia 12 tahun. Penghulu mengadakan pemeriksaan tersendiri yang diterima saja oleh anak itu, ternyata makin lebih yakin ini penipuan, tetapi, pengaruh wibawa sang ayah membungkam segalanya. Ijin diberikan. Pada hari perkawinan anak itu holang, para wanita yang harus mempersiapkan pakaiannya…. akhirnya dapat ditemukan sembunyi karena takut di atas pohon. Ancaman dan rayuan tidak berhasil…. Akhirnya dijanjikan kepadanya kambing kecil yang ditunjukan kepadanya dan menurutlah dia. Segera hias pengantin disiapkan, si kecil melawan mati-matian, akhirnya ibu menjanjikan bermacam-macam perhiasan kalau dia mau tunduk mengikuti semua ketentuan yang ada. Setiap pemasangan perlengkapan pengantin selalu dilawannya, tetapi akhirnya siap juga, setelah lewat lima jam masa hias pengantin. Seluruh upacara perkawinan berlangsung seperti sebuah mimpi yang lewat begitu saja, hanya pada waktu upacara melempar daunsirih, tersenyumlah si pengantin kecil karena merasa sebagai suatu hal yang menggelikan.

      Tentu saja perkawinan ini merupakan suatu kegagalan, dan pada umur 18 tahun di telah diceraikan oleh suaminya yang ketiga, dan dia sekarang bekerja di perkebunan P. Pada suatu hari ia bertemu di perkebunan dengan tuan administratur bersama seorang tamu (yang ternyata seorang imam dari Surabaya yangdemi kesehatannya istirahat di wilayah pegunungan). Orang asing itu tersenyum kepadanya dan memberikan payung. Sedangkan tuan administratur mengatakan untuk membawanya ke “rumah besar” dan menuggu mereka di sana.

      Macam-macam pikiran berkecamuk di benaknya sambil menunggu di rumah administratur. Apakah pula yang akan dituntun daripadanya? Jalan ke luar akan segera datang, tamu itu mendapatkan sesuatu pekerjaan baru bagi anak perempuan itu, sebagai “babu” di asrama misi yang baru dibangun di Blitar. Dia pergi ke sana, tidak terlalu mengharapkan yang muluk-muluk, tetapi dalam kesederhanaan itu ia justru bertemu dengan Jesus. Rahmat Tuhan berkarya dalam jiwanya, meskipun buta huruf, dengan setia dia belajar berdoa serta katekismus. Dalam kesederhanaanya “Martha” dalam permandiannya “alangkah baiknya Jesus” kata Martha “karena dia memberikan saya berjalan di kebun kopi, dan saya berpikir tentang hal-hal yang jelek saat itu, tetapi, justru pada saat itu Jesus memanggil saya”.

     

2.    Robertus S

      S. kira-kira berumur 18 tahun ketika datang di sekolah misi. Dia memperkenalkan diri sebagai Raden Mas S. (jadi seorang bangsawan). Dia sangat rajin, tenang di dalam kelas dan penuh perhatian. Di sana segera dia mendengar tentang Yesus, lalu menjumpai Pastor untuk itu pelajaran agama dan bersamanya datang pula W.M. dan J. Yang akhirnya membentuk inti dari kelompok anak-anak Katolik disekolah kita.

      Menjelang Paskah 1929, beberapa katekumen Blaitar akan dipermandikan. Agaknya takut-takut S. Minta kepada orang tuanya untuk menjadi Kristen. “Kristen, kata ayah gemetar karena marah, lebih baik aku melihatmu mati! Tak pernah, selama saya masih hidup, kamu menjadi Kristen.” Ibu menangis menyaksikan kejelekan anaknya. S. Tunduk kepala, dengan tenang berkata: “Saya tidak akan melawanmu, ayah!” “Saya minta maaf.” Dia sudah pernah menyinggung masalah itu lagi, tetapi masih tetap mengikuti pelajaran agama. Beberapa hari kemudian Paskah, ayahnya sakit,  ternyata TBC yang sudah parah. Masuk rumah sakit, setiap sore bersama ibunya, lewat pastoran pergi untuk menjaga si ayah yang sakit. Pastor juga sering mengunjungi si sakit, ini merupakan tugas tetap imam di sini. Perkenalan dengan sang ayah ternyata berjalan denga baik, karena setelah itu ternyata anak diijinkan untuk dipermandikan. Robertus (nama permandiannya) makin menunjukan cinta dan baktinya kepada sang ayah yang sakit. Cinta mengalahkan segalanya. Beberapa jam sebelum kematiannya, Robertus memanggil Pastor. “Romo, ayahingin juga dibaptis, datanglah cepat!” Segera saya datang sambil membawa koper permandian saya; saya berikan sedikit pelayanan; si sakit senang sekali mendengar pesan-pesan Yesus: si ibu juga hadir, ketika air permandian mengalir di dahi si sakit yang menjelang ajal, tak seorang yang hadir mampu menahan air mata; beberapa jam kemudian meninggallah Antonius M. Penuh keasrahan kepada Kehendak Suci Allah. Biarlah sesudah itu penghulu mengambil tempat saya di dekat jenasah seorang umat paroki kita dimakamkan secara Islam: Jiwanya sudah terselamatkan, dan bertobatlah hampir seluruh keluarga.

     

3.    Simplesius J.

      Seorang anak desa asli, ibunya tinggal jauh dari Blitar, setelah cerai dengan ayahnya kawin lagi dengan seorang Lurah: ia tinggal bersama ayah tiri, karena ayahnya sendiri pergi ke Banyuwangi, dan tak terdengar lagi kabar beritanya. Karena terdorong oleh teman-teman dan keluarganya, pergi juga ke HIS kami. Pada sore hari setelah sekolah, pelajaran agama diberikan di asrama. Di suatu sore karena enggan melihat tari-tarian, ia pergi ke sekolah dan mengikuti pelajran agama. Berkenalan dengan Pastor, merasa bahwa iman Katolik dapat memberikan segalanya, belajar dengan rajin katekismus dan dengan sungguh-sungguh ingin dipermandikan. Pada saat yang kristis di mana dia harus minta ijin ibunya untuk menjadi Kristen, meskipun Pastor telah membicarakan terlebih dahulu dan mendapat ijin, mungkin karena sulit menolak permintaan orang Barat atau tidak memahami permintaa itu sepenuhnya, ternyata ditanggapi dengan santai smbil mencabuti rambut kepalanya: “Alangkah celakanya saya, sudah ditinggal suami, sekarang satu-satunya anak mau meninggalkan saya.” “Ibu,” katanya, “begitu lama sudah kutunda minta ijin itu kepadamu; besok anak-anak yang lain akan diprmandikan, ibu, biarkanlah aku supaya ikut berbahagia.” Si ibu menangis dan berguling-guling di tanah dan minta kepada anaknya untuk tidak menyakiti hatinya. Anaknya hanya diam saja dan berbaring di balai-balai. Akhirnya si ibu menjadi reda, semua istirahat di tempat yang redup di bawah terang dan nyala lampu minyak yang kecil. Dia melihat ibu itu beridiri dan mengambil keris mau bunuh diri. Sang anak masih dapat dengan sigap menghalanginya. “Janji kepadaku, bahwa kamu besok kamu tidak ke luar rumah.” “Ya saya berjanji sebelum jam tujuh saya tidak meninggalkan rumah.” Ibu itu mereasa tuntutannya menang. Sampai setengah delapan ditahannya anaknya di rumah. Pada jam delapan pagi, upacara pembaptisan dimulai. Para calon duduk di tempat masing-masing. Satu tempat tetap kosong. Sesudah kotbah barulah ia datang dengan napas terengah-engah mengambil tempat di deretan terakhir anak 18 tahun itu menjawab dengan jelas dan tegas “saya menyangkal setan, saya ingin dipermandikan.” Sampai sekarang tetap setia dan tetap menjadi pendamping ibunya yang tetap Islam. Simplicius, yang sederhana itu, nama permandiannya – satusatunya petani Katolik dari desanya.

 

4.    Aloysius T.

      Seorang anak laki-laki kecil, kurus, datang dari Wlingi (kurang lebih 20 km. Dari Blitar) ke sekolah kami. Kelihatannya agak penakut tetapi pandangan tajamnya mengamati segala di sekitarnya. Dia memperhatikan ibu guru yang membuat tanda salib pada awal pelajaran dan teman di sampingnya, B (yang juga Katolik) lalu keduanya sama-sama mebuat tanda salib. Sikap pendiamnya ternyata didampingi pikiran-pikiran yang memenuhi otaknya dan tercetus dalam pertanyaan-pertanyaan yang khas darinya: “Mengapa Allah menciptakan nyamuk dan lalt?” “Kan tidak ada gunanya!” Atau, “mengapa orang-orang yang sangat dibutuhkan meninggal?” Amat banyak pertanyaan diajukan, dan wajah kanak-kanaknya nampak puaskalau pertanyaannya terjawab dengan baik. Tak lama kemudian ia mulai mengikuti pelajaran agama. Biasanya anak laki-laki Jawa bebas pergi ke manasaja dan jam berapa pulang. Kemudian T. Tinggal di rumah sorang guru Katolik, dan ia pun ingin menjadi Katolik. Ayahnya seorang pedagang sayur yang sukses, merasa keberatan kalau anak laki-laki sau-satunya menjadi Kristen. Tetapi si anak mendesak terus, sebagai anak laki-laki tunggal memang sukar untuk ditolak permintaannya, takut kalau terjadi musibah yang tak diharapkan. T. Dipermandikan: “Aloysius” tercantum dalam sepotong kertas yang diserahkan sewaktu permandian, hanya ia sendirilah yang tahu siapa yang menyarankan nama itu dan mengapa.                    

                 

                                                                                                 Blitar, 1929

 

                                                                                                 A. B.

 

[Diterjemahkan oleh Romo Sastropranoto CM]

Comments are closed.

The comments are closed. Submitted in: Uncategorized |