Perjalanan Jauh Menuju Jawa
(Nukilan dari: Armada Riyanto CM, 80 Tahun Romo-Romo CM di Indonesia 2003)
Wernhoutsburg (Belanda) – Paris (Perancis) – Genoa (Italia) – Singapura – Batavia (Jakarta, Indonesia). Inilah rute perjalanan panjang para misionaris CM pertama dari Belanda ke Jawa. Dari Wernhoutsburg ke Paris, dengan kereta api. Juga dari Paris ke Genoa (rupanya juga mampir sebentar di Roma). Selanjutnya, dari pelabuhan Genoa misionaris kita memulai perjalanan panjang yang melelahkan, memabukkan, mendebarkan tetapi juga indah. Lewat laut. Menuju Batavia. Dari Batavia ke Surabaya.
Pada malam hari tanggal 5 Juni 1923 kami berangkat (dari Paris)[i] dengan kereta api malam menuju Genoa dan pukul tujuh keesokan harinya kami sampai di tujuan. Pukul delapan kami lalu mempersembahkan Misa di tempat para konfrater Italia, dan setelah sarapan menu Italia kami diantar ke Campo Santo, sebuah makam yang kata orang merupakan makam terindah di Eropa. Kami diterima dengan sangat ramah oleh para konfrater. Sayang, kami tak dapat tinggal lebih lama. Jam tiga siang kami harus ke kapal Johan de Witt, yang telah siap di pelabuhan. Para Bruder membantu mengangkat barang-barang kami dengan kendaraan kecil sehingga kami dapat melihat-lihat pelabuhan Genoa yang ramai itu dengan santai.
Para Romo Karmelit dan enam Suster Ursulin sudah mendahului kami, diantara para Suster itu terdapat juga Suster Superior dari Surabaya. Dengan tiga pater Karmelit itu, kami sudah saling mengenal dan saling berkunjung sewaktu di Roma. Mereka merupakan teman-teman seperjalanan yang menyenangkan dan kami pasti akan menjadi tetangga yang baik di Jawa.
Para misionaris kita yang pertama, seperti sudah disebut di atas, ialah Romo Dr. Th. de Backere CM, Romo E. Sarneel CM, Romo Th. Heuvelmans CM, dan Romo J. Wolters CM. Tetapi yang menulis kalimat-kalimat di atas ialah Romo Wolters. Menarik untuk menyimak bahwa mereka seperti diatur oleh Penyelenggaraan Ilahi berada dalam satu kapal menuju Indonesia dengan para misionaris dari Karmelit dan Ursulin. Kelak, yang dikatakan Romo Wolters, bahwa “kami pasti akan menjadi tetangga yang baik di Jawa” terbukti lestari dengan banyak kerjasama yang dijalankan (Misalnya kerjasama dalam mendirikan dan mengurus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana (1971) yang dimaksudkan untuk memproduksi secara bermutu para petugas Gereja dan para pewarta Injil dan beberapa karya yang lain). Bagaimana kehidupan sehari-hari di atas kapal? Romo Wolters punya cerita:
Begitu sampai di kapal Johan de Witt yang bagus, bersih dan terkenal itu, kami ditunjukkan kabin-kabin kami. Para Suster berada di seberang kamar kami, sedangkan para Romo Karmelit satu pintu berikutnya. Di ruang makan kami mempunyai satu meja khusus, untuk 13 orang. Para petugas kapal sangat sopan dan ramah. Setiap pagi pukul setengah enam atau enam, kami dapat mempersembahkan Misa di ruang anak-anak.
Hari ini, Minggu 10 Juni 1923 kami mengadakan Misa agung pada jam setengah sebelas di ruang makan kelas satu. Hadirin mencapai kurang lebih 40 penumpang, dan setelah Injil, Superior kami Pastor Th. De Backere memberikan homili singkat.
Kapal yang termuati penuh itu melaju dengan lancar, dengan kecepatan 15 mil per jam. Kehidupan di atas kapal cukup menyenangkan: kami mendapat rekan seperjalanan yang baik, sehingga pelayaran tidak terasa membosankan. Kami dapat istirahat sepenuhnya dan sama-sama ngobrol, lebih-lebih di malam hari di atas dek di “pojok hitam” kami. kami melakukan pelbagai acara hiburan, seperti siapa yang pertama mabuk laut harus menraktir semua. Di situlah kami selalu berusaha mengintip. Suatu malam kami bertiga Romo Prior, Pastor Heuvelmans tanpa berkata apa menjauhkan diri. Saya menjadi curiga dan terus mengamatinya. Selanjutnya dia meloncat dan benar … sesuatu telah tumpah ke laut. Sambil tertawa, saya berdiri disampingnya, sedangkan Romo Prior dari kejauhan memandangi tontonan itu dengan penuh belas kasihan … ”sudah-sudah, toh pasti akan ada lagi yang menyusul [tumpah]!” … Setelah itu selesailah sudah, kecuali bahwa tentu saja masih harus ada pemenuhan perjanjian, dan saya harus jujur, bahwa janji menraktir sungguh ditepati.
Ternyata memang Romo Th. Heuvelmans termasuk salah satu yang paling menderita, mabuk laut, kendati dia memiliki fisik yang bagus. Pada waktu itu, bersama dengan Romo Wolters, Romo Heuvelmans masuk dalam angkatan paling muda. Yang paling senior tentu saja Romo de Backere dan menyusul berikutnya Romo Sarneel. Dalam suratnya tanggal 22 Juni 1923 Romo Heuvelmans dari Panningen menceritakan pengalaman “pahitnya” sebagai sesuatu yang justru menggembirakan:
Bagi saya perjalanan laut itu mulai dengan sesuatu yang tidak menyenangkan: belum dua jam di atas kapal, saya sudah muntah-muntah tiga kali. Saya langsung menelusup di tempat tidur dan tidur nyenyak. Pagi harinya saya sudah sehat walafiat seperti ikan di laut. Itu adalah “persembahan” saya bagi Dewa Neptunus yang pertama dan sampai sekarang yang terakhir. Yang lain-lain, kecuali mungkin Pastor Sarneel, juga mabuk laut. Namun itu malahan menjadi bahan tertawaan dan lelucon dari waktu ke waktu. Begitulah selanjutnya hari-hari itu terisi dengan kegembiraan.
Sayang bahwa kami harus bangun pukul lima pagi, untuk mengurbankan Misa harian. Pengurbanan kecil yang setiap hari terus berulang itu membuat heran teman saya sekabin yang ateis, namun dia sangat ramah dan baik, bahkan yang Katolik pun belum tentu lebih baik dari dia. Rosario dan brevir saya doakan di hadapannya, sehingga ia tahu siapa saya. Namun ia tak pernah mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan.
Romo Wolters menceritakan kembali kisah perjalanan para misionaris kita mampir di Pelabuhan Said (Mesir) dan melakukan sedikit keliling kota, menikmati Laut Merah, lewat terusan Suez, serta pengalaman mendapat badai laut.
… Sekarang kami sudah berada dekat Port Said. Nanti malam pukul satu, kami akan memasuki pelabuhan tersebut, dan pukul enam pagi akan mulai memasuki terusan Suez. Perjalanan sekonyong-konyong berubah. Yang biasanya kami melihat di horison kapal-kapal, sekarang unta-unta berpunuk. Terhadap kota Djibouti, kami hanya dapat memberi salam dari kejauhan, begitu juga Alitiena …
Hari Selasa pagi tanggal 19 Juni kami berada di tengah Samudra Hindia. Jumat pagi kami sampai di Colombo dan berhenti selama enam jam untuk kemudian berlayar ke Sabang. Tetapi, kita kembali sebentar ke Port Said agar tidak melupakan sesuatu. Kami tiba di pelabuhan Mesir ini pada hari Senin malam. Baru saja kami melewati menara-menara, perahu-perahu pemandu yang kecil sudah berbondong-bondong menuju kami. Kapal membuang sauh dan tangga diturunkan. Pastor Heuvelmans dengan saya sudah berada di bawah; setelah berdayung sejenak kami sudah berada di dermaga.
Namun sebelum kami dapat lolos, orang-orang itu sudah meminta: “Hadiah tuan”. Permintaan selalu kami tolak, sesuai anjuran mereka yang sudah berpengalaman. Karena tidak jauh dari situ sudah ada polisi yang mengadakan transaksi pembayaran. Di situ mulai ada penipuan: 50 sen tiap orang.
Kami masuk kota, setidak-tidaknya di jalan yang diterangi lampu, karena di luar kota berbahaya. Sangat berhati-hati kami berada di belakang para penunjuk jalan. Kami membeli sesuatu di salah satu toko dan kami berjalan lagi. Sekarang baru mulai: dua, tiga. Lima, enam orang memakai sorban dan jubah yang panjang dan berwarna-warni datang menawarkan barang-barang kepada kami secara memberondong: rokok, tembakau, kalung … dan lain-lain! Kami langsung menjawab: pergi, kami tak beli apa-apa! Orang-orang itu cukup mampu berbahasa Belanda untuk menawarkan barang-barang mereka, dan mengerti maksud kami. Orang-orang tersebut masih mengikuti ketika kami sampai pada sebuah restoran besar dengan lampu warna-warni. Seorang “ober” (sebutan pelayan restoran, sic.) menyosong kami dan berkata lantang: “Tuan-tuan, kemari!” Di seberang juga ada sebuah bar dengan orang-orang yang mengundang seperti ini. Kami memilih yang pertama dan duduk dengan nyaman di sebuah meja kecil di luar. Kami minta sebotol bir: Fl. 3.50! Luar biasa. Kami menolak tentu saja, dan menawar sampai 80 sen. Namun para penjual tadi datang lagi: tasbih, rokok, perangko, bunga dan penukar uang … seperti pengepungan saja layaknya. Kami bertahan dan meledek, kami menawar 5 sen kalau mereka meminta 2 gulden. Memang kami harus mendengarkan banyak hal, tapi lucu juga mendengarkan mereka mengucapkan bahasa Belanda. Kami memang harus waspada menjaga saku dan jam tangan kami. Penumpang-penumpang yang lain juga dikejar seperti kami. Mereka mengajukan harga yang tinggi, namun ditawar rendah. Mereka juga memberi nama seenaknya: Nyonya Konsul, Jendral, Kapten, dan kami disebut: Kardinal! Kalau kami menawar terlalu rendah, mereka berucap: kurang…! Kami dinasehati untuk tidak membeli perangko dan menukarkan uang, bisa-bisa ditukar dengan uang palsu. Sementara itu ada orang yang mengadakan sulap di tengah jalan. Tapi polisi sudah tahu taktik mereka. Romo Overste [Romo Superior] dan yang lain sementara itu juga sudah tiba.
Menjelang pukul empat pagi kami semua bersama kembali ke kapal. Lagi-lagi harus membayar kepada polisi dan si Arab penunjuk jalan.
Ketika sampai di dek hal-hal lucu seperti tadi belum selesai. Kapal itu penuh dengan orang-orang berkulit hitam. Untuk menjaga hal-hal tidak diinginkan kami mengunci semuanya. Ada tukang sulap dengan anak ayam dan gulden: luar biasa hebat. Sepanjang kapal ada armada perahu-perahu kecil dengan berbagai barang dagangan. Orang-orang itu terus menerus menawarkan dan akhirnya menjual banyak juga. Dengnan tali mereka mengerek dagangan dan dengan payung mereka menerima uang.
Di bagian lain pemusik-pemusik dengan seruling dan alat musik citer memainkan lagu-lagu yang bagus dan juga “Wilhelmus” dan beberapa lagu Belanda. Di air sekelompok anak-anak berenang sambil berteriak: “Tuan, seketip Tuan, untuk Ali Baba!”. Melayanglah uang setali ke air dan mereka pun dengan cekatan menyelam ke dalam air, beberapa saat kemudian mereka muncul dengan uang logam di mulutnya. Kadang-kadang karena berebut, mereka lalu bertengkar dan saling menyemprot dengan air dari mulut mereka. Dan ada juga seorang perenang yang sudah agak besar bersedia meloncat dari dek kapal ke dalam air (kurang lebih sepuluhan meter) dengan imbalan 5 gulden. Di mau juga, sebenarnya jauh di bawah itu. Lucu menyaksikannya, namun berhasil dengan baik. Apakah dia mau juga berenang di bawah kapal dengan imbalan tertentu, tentu saja tak ada yang mau dan akhirnya dia menghilang. Masih banyak orang-orang yang berkeliaran di dek hingga akhirnya pada pukul setengah enam kami mulai berlayar menyusuri terusan Suez. Jalan penderitaan mulai.
Romo Wolters benar-benar seorang pencerita yang ulung. Dari sedikit kisah mampir di pelabuhan Said (Mesir), kita dibawa kepada sebuah realitas yang sungguh hidup, realitas pelabuhan. Apa yang dimaksudkan dengan “jalan penderitaan mulai” di atas ialah badai laut yang menggoncang kapal disertai dengan penderitaan di atas kapal, mabuk dan ketakutan.
Sampai malam kami tetap tinggal di dalam. Di kedua belah sisi hanya ada padang pasir dan beberapa deret pohon yang jarang sepanjang terusan itu, yang dilewati kereta api. Kami melewati danau-danau besar, yang penuh dengan perahu-perahu layar. Kami juga berpapasan dengan beberapa kapal besar antara lain penjelajah Jeanne d’Arc. Betapa panasnya! Dan itu baru permulaan. Terusan itu sendiri adalah karya yang indah: lebar, luas, lurus, namun perlu banyak perawatan. Banyangkan saja, kapal kami saja harus membayar Fl. 35.000 untuk sekali lewat. Menjelang malam kami akhirnya sampai di Suez, sekali lagi pemandangan yang mengasyikkan, namun kami terus berlayar.
Kemudian kami memasuki laut Merah! Saya masih merinding kalau mengingat. Tiga hari yang panjang kami berlayar dan rasanya tak ada akhir, sedangkan matahari bersinar tepat di atas membakar kami. Kami ingat akan Musa, Sinai, akan Pharao dan bala tentaranya; tetapi lebih-lebih ingat akan penderitaan yang kami tanggung. Pastor Linus sepanjang waktu berbicara tentang Job, tentang kehidupan yang manusiawi … Kami bertahan sekuat tenaga dan akhirnya kami sampai di Perim dan Teluk Aden. Orang menghibur kami bahwa Surabaya tak pernah sepanas ini.
Kami jatuh dari Charybdis ke Scylla. Di teluk Aden ada musim hujan. Berita-berita di radio memberitahukan tentang badai dan kami pun bersikap waspada. Pada malam hari ketika kami sedang makan, badai mengamuk. Waktu itu para penumpang berlarian ke geladak, ke kabin, mencari selamat di tempat tidur atau kursi tidur. Hari berikutnya lebih dari separuh ruang makan kosong … hanya Romo Prior (Romo de Backere) dan Pastor Sarneel yang tidak mabuk, yang lain … jatuh semua: Mabuk laut!
Siang hari menjadi berat dan malam tidak memberikan istirahat: tentang perjalanan santai jangan dibicarakan lagi. Untunglah badai mulai reda beberapa saat kemudian, sekarang malah ada angin sepoi-sepoi, kami tak merasa terganggu, malahan sebaliknya.
Apa yang telah kami keluhkan dan tertawakan, semuanya kelihatannya hilang lenyap kecuali semangat, yang selalu menyala, meskipun kadang-kadang pesimis juga. Hari telah menjadi agak sejuk dan bahkan ada hujan. Perut mulai normal kembali. Secara bertahap, semuanya menjadi pulih kembali. Padahal bagi yang sudah biasa, pelayaran ini sangat nyaman. Memang, bagi kami kesemuanya itu merupakan pengalaman baru. Namun jangan Anda salah tangkap. Bagi saya perjalanan ini merupakan piknik. Setiap hari maju 600 km, dan sekeliling hanya air dan sekali lagi air. Dan itu indah, karena merupakan hal yang baru bagi kami. Anda-anda yang akan menyusul kami kemudian, janganlah menjadi cemas.
Sebuah kisah perjalanan laut yang menimbulkan kesan. Mengharukan. Mendebarkan. Tetapi, juga lucu-lucu. Mungkin harus dikatakan bahwa Romo Wolters termasuk salah seorang yang pintar bercerita dan pembaca dibuat enak mendengarnya. Ketika dia berkata, “bagi saya perjalanan ini merupakan piknik … indah meskipun di sekeliling hanya air dan sekali lagi air … Anda-anda yang akan menyusul … janganlah menjadi cemas” jelas hendak mengatakan maksud dari kisah perjalanan ini. Maksudnya ialah agar kisah ini memberi semangat misioner kepada para pelanjutnya. Yang akan menyusul memang banyak sekali. Sekitar tujuh puluhan atau lebih konfrater Belanda telah benar-benar mengikuti jejak para misionaris CM pertama ini. Mari kita ikuti perjalanan dan petualangan mereka di Kolombo dan Sabang.
Tanggal 23 Juni pagi hari kami memasuki pelabuhan Kolombo [mereka berangkat dari Genoa 6 Juni]. Laut agak berombak waktu itu, namun suatu armada perahu-perahu kecil datang mengelilingi kapal kami. Indah untuk dilihat bagaimana perahu-perahu itu berdansa terapung, dikendalikan oleh awak yang coklat kulitnya dan setengah telanjang. Sebuah perahu motor membawa kami ke darat.
Pagi ini kami cepat-cepat menukarkan uang, lalu ke kota bersama Romo Paskalis.[ii] Semuanya kelihatan baru bagi kami, penemuan-penemuan yang menyenangkan. Pakaian mereka sangat sederhana dan berwarna-warni, tetapi selalu rapih dan tak pernah mengejutkan. Anak-anak membarengi kami cukup jauh dengan permintaan-permintaan yang sulit dimengerti sambil mula-mula menepuk dahi dan kemudian perut: “Tuan, sen!” Salah satu dari mereka menyanyikan lagu: “It is a long way to go”. Dan kami menemukan sebuah bangunan, rupanya Gereja Katolik. Tapi ternyata sebuah losmen!
Kemudian kami menyewa sebuah dokar, saisnya berkulit coklat, mulutnya merah karena mengunyah sirih, tak mengerti bahasa Inggris atau Melayu. Saya memperlihatkan lima kali lima jari saya, kemudian dia mengangguk dan saya naik ke dokarnya. Terlihat sebuah gedung dengan salib di atasnya: St. Peter’s House, sebuah rumah sakit yang besar.
Romo Paskalis dan saya sepakat untuk mampir sejenak. Di sana sudah duduk lima yang lain di sebuah beranda yang nyaman. Seorang Suster pribumi yang rapih dan ramah menghindangkan kopi dan anggur. Kami membeli lilin dan melihat-lihat kapel di mana Sakramen Mahakudus sedang ditahtakan dan dari sana bersama-sama kami pergi ke biara para Romo Oblaten, yang juga merupakan rumah tinggal Uskup. Juga di sana kami diterima dengan sangat ramah. Salah satu konfrater kami dari Cina mampir di sana seminggu yang lalu.
Namun perlahan-lahan waktunya telah habis dan kami naik tram kembali ke pelabuhan, melalui daerah-daerah yang khas. Kami sangat senang dengan bepergian ini dan dengan kotanya. Jumlah orang Katolik di situ tidak kurang dari 50.000 jiwa dan ada banyak gereja. Ceylon (Sri Lanka), pulau yang indah ini, memberikan kesan yang sangat baik.
Pada jam setengah dua kami melaju lagi ke laut bebas menuju ke Sabang. Sementara Minggu tanggal 24 Juni adalah pesta St. Yohanes.[iii] Dengan sendirinya kami rayakan dengan meriah. Kami gunakan waktu dengan ngobrol lama, sedangkan di dek lain ada dansa.
Senin tanggal 25 Juni pukul delapan pagi kami sampai di Sabang. Inilah Indonesia, tanah yang dijanjikan! Kesan pertama sungguh sangat indah. Sabang terletak bagus di mulut teluk, dikelilingi bukit-bukit yang tinggi dan hijau. Kami sempatkan mendaki salah satu bukit. Pelabuhan Sabang cukup modern perahu dapat merapat. Perjalanan penyelidikan kami segera mulai. Kali ini kami lakukan untuk mengenali lebih jauh alam Indonesia dari dekat … Pada siang hari kami mengadakan perjalanan yang kedua ke sekitar Sabang yang makmur dan indah itu.
Pada jam tujuh kami berangkat lagi. Di depan pelabuhan Deli kami berhenti tiga jam tetapi kami tidak boleh turun ke darat. Besok pagi kami akan berada di Singapore. Kami semua menunggu Romo Klamer CM dan pasti akan menjadi sebuah hari yang menyenangkan …
Waktu mendekati Singapura kami melihat dengan teropong Romo Klamer sudah berada di dermaga. Sungguh suatu pertemuan yang menggembirakan. Dengan demikian perjalanan kami merupakan perjalanan yang paling baik; di Nederland kami pasti didoakan secara khusus. Konfrater “Cina” kami sudah menyediakan sebuah mobil di dermaga dan dari kapal kami langsung melangkah ke kendaraannya. Suatu perjalanan yang indah. Mula-mula kami sampai di rumah kelompok “Misi untuk Bangsa-Bangsa” dari Paris, tempat Romo Klamer menginap. Mula-mula kami minum minuman segar di beranda. Setelah makan malam, kami masih melanjutkan omong-omong yang mengasyikkan; kemudian kami kembali lagi ke kapal Johan de Witt.
Romo Klamer CM adalah konfrater yang konon sudah lima belas tahun berkarya di Cina. Dia dipanggil bergabung dengan empat konfrater Belanda pertama untuk merintis misi di Indonesia. Mengapa diminta? Sangat mungkin, karena – menyimak komposisi umat Katolik yang ada pada waktu itu di wilayah Surabaya, di mana jumlah umat Katolik Cina menduduki urutan kedua terbanyak setelah umat Katolik Belanda – Romo Klamer diminta membantu untuk melayani umat Cina yang Katolik. Situasi Surabaya pada waktu itu sangat beragam. Orang Jawa menggunakan bahasa Jawa. Umat Katolik Jawa pada waktu itu jumlahnya hanya 40 orang. Orang-orang Cina bercakap-cakap dalam bahasa Cina. Pada waktu itu jumlah orang Cina di wilayah yang akan menjadi wilayah misi para misionaris kita mencapai enam puluhan ribu. Orang Belanda juga berbicara dalam bahasa mereka sendiri. Bahasa Indonesia belum bisa dibayangkan. Kedatangan Romo Klamer yang sudah berpengalaman misi di Cina akan memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi pelayanan umat Katolik Cina di wilayah Surabaya dan sekitarnya.
Sampai di Batavia
Hari berikutnya Pastor Klamer mulai menempati tempatnya di kapal, yang telah diatur dan dipersiapkan dengan sempurna. Kapal mulai melaut lagi menjelang pukul empat (sore) menuju Batavia. Kami memasuki pelabuhan Tanjung Priok hari Sabtu pagi tanggal 30 Juni. Seorang pater Jesuit sudah menunggu kami di dermaga. Setelah pemeriksaan melalui bea cukai, kami dibawanya dengan dua mobil menuju Batavia.
Penyambutan sangat ramah dilakukan oleh Pastor van Hoof dan para Romo yang lain. Setelah berkunjung ke Katedral sebentar, sebagai ungkapan terima kasih atas lancarnya perjalanan dan memohon berkat Allah bagi karya kami di Jawa, enam di antara kami ditempatkan di pastoran Weltevreden dan dua paling muda, Pastor Linus dan Pastor Heuvelmans, di Messter Cornelis dengan Pastor Mathijssen …
[i] Kutipan surat ini dari SV-MISSIE, September dan November 1923. Terjemahan bahasa Indonesia dikutip dari buku Menapak Jejak Missionaris Lazaris, jilid I (John Tondowidjojo CM). Beberapa kalimat terjemahan diperbaiki seperlunya. Kata-kata “dari Paris” merupakan tambahan dari penerjemah dalam buku Menapak Jejak Misionaris Lazaris, jilid I. Tidak ada di dalam teks surat yang dimuat di SV-MISSIE, September 1923. Jika diperhatikan secara teliti, kalau para misionaris ini sempat mampir di Roma, maka keberangkatan tanggal 5 Juni 1923 ke Genoa itu dari Roma, bukan dari Paris. Dan, apalagi mereka berkata kalau mampirnya di Roma itu hanya sebentar. Itu mengandaikan mereka saat itu dalam perjalanan hendak berangkat (ke Indonesia) dari pelabuhan Genoa, tetapi sebelumnya sempat ke Roma. Hampir dapat dipastikan, setelah dari Roma, mereka tidak kembali ke Paris. Tambahan lagi, bila mereka mengambil kereta malam, dan jam tujuh keesokan harinya sudah sampai di tujuan (Genoa, maksudnya), itu lebih pas dari rute Roma–Genoa, bukan Paris–Genoa. Yang pasti ialah bahwa mereka tanggal 6 juni 1923 sudah melakukan perjalanan dengan kapal Johan de Witt menuju Indonesia.
[ii] Kita tidak tahu pasti siapa Romo Paskalis. Tetapi, jika dalam awal perjalanan, Romo Wolters menyebut mereka bersama-sama dengan Romo-Romo Karmelit yang akan bertugas di wilayah Malang dan sekitarnya, mungkin (tetapi sangat belum pasti) Romo Paskalis itu Romo Karmelit. Atau, pokoknya, salah seorang Romo yang pada waktu itu juga sedang menempuh perjalanan yang sama menuju Indonesia.
[iii] Pesta St. Yohanes berarti pesta dari nama pelindung Romo Jan (Yohanes) Wolters sendiri. Tentu saja, bagi penulis kisah ini, hari itu adalah hari istimewa.
The comments are closed. Submitted in: Uncategorized |