Kunjungan ke Desa

Bukit-bukit menggelombang dan sungai-sungai berkelok-kelok menuju laut. Pegunungan selatan yang indah membentang luas, sunyi, gersang dan miskin. Di balik hutan lebat, yang menutupi pantai selatan, kami mendengar deburan ombak menggulung, pecah menghantam karang pantai. Juga di daerah itu Misi memiliki beberapa sekolah kecil. Di antara sedikit penduduk pegunungan yang sederhana itu, kabar gembira Injil mendapat sambutan. Ketika kami beberapa tahun lalu menjelajahi daerah itu, bahkan nama Katolik atau Romo belum dikenal. Sekarang, pada kunjungan kami terakhir, dipersembahkan Misa agung dan sejumlah umat menyambut, sedangkan para katekumen dan yang ingin tahu pun datang melihat … Oh tanah gersang selatan ini rupanya cocok untuk biji sesawi Injil. Rumah bambu yang luas itu dengan segera penuh. Mereka duduk di tikar. Di sisi yang satu, duduk bapak-bapak dan di sisi yang lain ibu-ibu dan anak-anak. Setelah saling menyapa, mula-mula dihidangkan kopi yang hitam pekat dan lezat manis. Kemudian menyusul pelajaran. Satu setengah jam mereka mendengarkan misisonaris dengan penuh perhatian, yang dengan contoh-contoh dari sekeliling lingkungan mereka berusaha menerangkan kebenaran-kebenaran yang luhur dari “agama baru” itu.

 

Perjalanan pulang ke tempat tinggal kami sementara di Sumberboto tidaklah mudah. Hari sudah gelap. Hujan telah menjadikan semuanya berlumpur dan kerbau-kerbau dengan kakinya yang besar dan berat itu telah membuat kubangan-kubangan di jalan. Sekali-kali kami merasakan cipratan air kotor ke arah kami. Lumayan. Kalau kami [Rm van Megen dan Rm Wolters] tiba di rumah, kami akan memutuskan siapa di antara kami berdua nampak paling tampan, haaha! Tuhan memiliki misionaris bermacam-macam jenis: “Misionaris-aspal” di kota-kota, “Misionaris-lumpur” di desa-desa; namun kami semua harus bekerja keras.

 

Pagi-pagi umat sudah hadir. Banyak pria, wanita dan anak-anak yang datang dari jauh untuk menghadiri Misa dan menerima Sakramen. Penduduk sekitar membantu kami menghiasi serambi dengan daun-daun dan bunga. Koper Misi kami jadikan altar. Di lantai tanah digelar tikar dan umat dapat duduk bersila. Ruang kecil yang kemarin masih sebagai dapur menjadi kamar pengakuan. Akhirnya Romo Bastiaensen dari Blitar datang untuk mengadakan Misa Agung. Kehormatan semacam ini belum pernah terjadi di daerah selatan. Betapa khusuk suasana umat dan katekumen dan betapa besar besar perhatian orang di luar halaman. Khotbah Romo van Megen dalam bahasa Jawa menjelaskan kebahagiaan, hak, namun juga kewajiban dan tanggungjawab masyarakat Katolik yang muda dan tentang para kepala petinggi Katolik. Suara tersebut terdengar sampai pada kerumunan di luar, mungkin sebagai awal rahmat pertobatan. Setelah doa penutup syukur, kepada mereka kami sajikan secangkir kopi yang nyaman dan kue manis dari tepung beras. – Tulis Romo Jan Wolters (1934)

 

***

 

Apakah kita besok akan mengunjungi sekolah-sekolah desa kita di daerah selatan? Tanya Romo van Megen … Esoknya kami jalan. Jalan memang hampir tak dapat dilewati. Selain tanah liat yang kuning kapur, masih ditambah jalan membelok menanjak yang dilewati sapi-sapi yang lari ke sana ke mari … Romo Wolters bersepeda dengan giat bersama dengan Rom van Megen ke Kali Grenjeng, Sumberboto. Saya memperoleh banyak kesempatan membayangkan kelelahan yang mereka alami setelah perjalanan-perjalanan semacam itu … Setelah Misa, mulailah dengan pelajaran agama. Romo van Megen melakukannya dengan serius. Selama tiga perempat jam ia mengajar dalam bahasa Jawa sangat lancar. Pelajaran agama sudah selesai, sekarang pembagian gambar-gambar, pada setiap gambar ada salah satu cerita. Santo Isidorus, pelindung para petani menjadi pusat perhatian dan diterima dengan “inggih-inggih” yang lantang dalam kelompok. – Tulis Rm Bruno CM ketika ikut Rm van Megen ke desa (1932)

 

***

Sore hari dan malamnya kami segera melakukan kunjungan. Kunjungan kemana? Ke pemimpin masyarakat, ke Asisten Residen, ke kepala-kepala sekolah atau guru-guru sambil berpesan agar para murid datang ke Katekismus. Bagaimana itu semua dilakukan? Dengan naik kereta api, atau dokar atau kuda, atau numpang mobil umat (Belanda) atau kunjungan dengan sepeda atau jalan kaki. Esok hari-nya setelah Misa kudus di gereja Mojokerto yang kecil dan mungil, pembagian tugas dibicarakan. Romo Wolters mengunjungi pabrik-pabrik gula; saya memberikan pelajaran Katekismus dan sore harinya kunjungan keluarga lagi. Kami dapat mengunjungi 80 keluarga! Kunjungan umat lebih berguna [lebih efektif] daripada kotbah di gereja. Tengah malam kami menyudahi kunjungan, dan kembali ke pondok, mengaso dan membuat persiapan untuk esok harinya dan dengan demikian tugas sehari-harinya selesai. – Cerita Rm Herman Kock CM saat tugas pertama di Mojokerto bersama Rm Wolters (1924)

 

 

Comments are closed.

The comments are closed. Submitted in: Uncategorized |