Misi Sebelum 1923

 

Rm. Armada Riyanto CM

[Nukilan dari makalah “Sejarah Hati Misi. 90 Tahun CM Indonesia dan 50 Tahun CM Roma di Keuskupan Surabaya”, disampaikan dalam Hari Studi tanggal 23 Januari 2015 di Kepanjen, Surabaya]

 

1810 Kedatangan pertama Romo diosesan Belanda di Surabaya.

1821 Permulaan pembangunan Gereja Katolik Pertama di Surabaya di sebuah tempat antara jalan yang akan disebut Romsche Katholieke Straat (sekarang Jalan Merak & Cenderawasih) dan Komedie Plein (lapangan Komedie). Surabaya merupakan sebuah “stasi” dari Prefekturat Batavia. Pastornya Romo H. Waanders Pr.

1822 Peresmian Gereja Katolik Pertama Surabaya yang didedikasikan kepada Bunda Maria.

1835 Seorang misionaris CM, Yohanes Gabriel Perboyre, mampir satu bulan di Surabaya dalam perjalanannya ke Cina. Dari surat Yohanes Gabriel, kita tahu Surabaya adalah wilayah kota yang indah.

1843 Mgr. de Groof, Vikaris pertama Batavia (1845) memecat pastor yang bertugas di Surabaya, dan lantas terdapat konflik besar antara Vikaris Batavia dengan Gubernur Jenderal Rachussen, yang ikut campur tangan dalam urusan Gereja Katolik. Konflik antara Mgr de Groof dengan Gubernur Jenderal Rachussen berakibat pada pengusiran baik Mgr. de Groof maupun pastor stasi Surabaya. Akibatnya Gereja di Surabaya sempat ditutup oleh pemerintah kolonial selama dua tahun-an. Konflik ini kelak akan memroduksi lahirnya Surat Radicaal, sebuah dokumen penting untuk mengerti mengenai misi Katolik di Hindia Belanda.

1859 Romo-Romo Yesuit tiba dan akan berkarya di banyak wilayah di Hindia Belanda (Indonesia), antara lain Surabaya.

1900 Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria Kepanjen diresmikan untuk menggantikan Gereja Pertama yang telah rusak, karena gempa dan terbakar.

1923 Misi Romo-Romo Yesuit digantikan dan dikembangkan oleh para Romo CM.

 

MISI SEBELUM 1923

 

Bagaimana sebaiknya memahami misi Gereja Katolik sebelum 1923 di wilayah yang kelak akan disebut Keuskupan Surabaya dan Indonesia pada umumnya? Tema pembicaraan ini saya pandang penting untuk mengantar orang kepada sensibilitas makna sejarah misi di wilayah ini.

Barangkali sebaiknya diketahui terlebih dulu beberapa realitas keadaan Gereja Katolik yang ada dalam catatan historis. Ketika Propaganda Fide menyerahkan kepada CM wilayah Surabaya, ketika itu sudah dilayani beberapa romo Yesuit. Juga dituliskan pada waktu itu (tahun 1923) terdapat 40 umat Katolik Jawa. Catatan ini ada dalam surat resmi Propaganda Fide (surat Kardinal van Rossum CSSR), diterbitkan pada tahun yang sama di AAS (acta apostolicae sedis) Vatikan dan Annales CM-PK Paris, tentu saja juga di majalah misi Provinsi Belanda, St. Vincentius a Paulo Missietijdschrift der Lazaristen di Panningen.

Jika tahun 1835 Santo Yohanes Gabriel Perboyre CM yang hendak misi ke Cina mampir di Surabaya dan berkata dalam surat-suratnya bahwa di sini sudah terdapat Gereja Katolik; dan tahun 1822 Gereja itu telah berdiri, berarti sudah 100 tahun lebih hitungannya iman Katolik dibawa ke wilayah ini, mengapa umat Katolik Jawa hanya ada 40 jiwa saja? Apalagi, kedatangan pertama imam Katolik pasti sebelum tahun 1822 (konon 1810?). Dan, jika kita membaca tulisan sejarah di wilayah Surabaya dari majalah Katholieke Gids, majalah Prefektur Surabaya (yang mulai terbit tahun 1928), dikatakan pada tahun 1900 terdapat 10 umat Katolik Jawa.[1] Mengapa begitu sedikit pertambahan jumlah umat?

Romo Piet Boonekamp CM, penulis artikel sejarah Keuskupan Surabaya dalam buku monumental, Sejarah Gereja Katolik Indonesia, buku yang diedit oleh Dr. Muskens (terbit tahun 1974), berkata dengan kalimat bernada halus, waktu itu para misionaris Yesuit kekurangan tenaga (mereka hanya berdua di Surabaya). Mereka tidak sempat mewartakan Injil kepada umat Jawa. Perhatian mereka hanya umat Eropa dan waktu itu memiliki wilayah yang sangat luas, konon Makasar atau Lombok pun terhitung masuk dalam “stasi” Surabaya.

Membaca beberapa kalimat Romo Piet terasa belum melegakan kehausan akal budi saya mengenai perkara historis ini. Benarkah Romo Yesuit kekurangan tenaga, dan hanya itu sebabnya misi Katolik berbuah sedikit dari sisi pertambahan jumlah umat?

 

***

 

SURAT “RADICAAL” ITU

 

Sudah agak lama saya tertarik mengenai yang saya temukan secara tidak sengaja, dan hal ini belum pernah disinggung dalam tulisan sejarah Gereja Katolik Indonesia (sejauh saya ketahui). Ketika membolak-balik dokumen penugasan misi oleh Provinsial Belanda, terdapat secarik kertas kecil dengan tulisan tangan yang tak mudah dibaca dari Romo Harie Romans CM (provinsial waktu itu): (nomor 2) Is het aan te raden dat allen het Radicaal hebben… en waarom?  (Apakah sebaiknya semua [misionaris] memiliki [surat] Radicaal … dan mengapa?)

Saya bertanya-tanya mengenai surat yang disebut sebagai surat Radicaal, apakah gerangan surat itu? Almarhum Romo Slutter CM, yang datang ke Indonesia tahun 1949, pernah berkata kepada saya bahwa dia masih harus mengurus Radicaal itu di Den Haag. Dan, sesudah tahun itu, surat itu tidak diperlukan lagi oleh para misionaris yang datang ke Indonesia. Tentu ini mengindikasikan hal yang sudah jelas, yaitu sesudah tahun 1949 Belanda telah secara resmi “menyerahkan” kekuasaan kepada pemerintahan Indonesia.

Belakangan Romo Bellemakers CM, penggiat sejarah misionaris Belanda, yang semula juga kurang perhatian dengan surat itu, mulai tertarik dan membantu saya untuk mengenalinya. Tetapi setelah melihat internet dia hanya berkata, surat itu berasal dari konflik Uskup Mgr. Grooff (Uskup Jakarta) dengan Gubernur Jenderal J.J. Rochussen. Surat itu semacam surat jalan atau surat ijin kerja di wilayah kolonial.

Jawaban ini belum melegakan saya. Saya tertarik mengungkap lebih dalam keterkaitan surat Radicaal dengan karya misi para misionaris kita. Sampai di sini saya untuk sementara hanya bisa yakin bahwa surat ini menyimpan misteri sejarah yang sangat penting.

Atas kebaikan Romo Bellemakers CM, provinsial CM Belanda, surat Radicaal itu diberikan kepada CM Provinsi Indonesia sebagai bukti fisik historis dari salah satu pergumulan misionaris kita dalam mewartakan Injil ke Hindia Timur (Indonesia). Yang diberikan itu ialah surat Radicaal milik Romo C. Klamer CM, yang pada waktu mengawali misi ke Indonesia berangkat dari Yungpingfu tahun 1923, Cina. Surat itu tersimpan baik dan masih sangat bagus meski usianya telah 90 tahun.

Kembali kepada pertanyaan semula, apa hubungan surat Radicaal dengan misi Katolik di Indonesia?

Almarhum Romo Gerard van Winsen CM menulis artikel berbahasa Perancis “Motifs de l’Assistance Missionaire Hollandaise á l’Indonésie (1800-1920)” yang diterbitkan oleh jurnal Neue Zeitschrift für Missions-wissenschaft 1974 (pp. 52-61). Terima-kasih Romo van Winsen CM, artikel ini membantu saya menyibak “misteri” surat Radicaal itu dan apa hubungannya dengan misi Katolik di Keuskupan Surabaya dan Indonesia pada umumnya. Konteks surat Radicaal dan kesulitan-kesulitan yang dialami oleh misi Katolik pada waktu itu menjadi lebih gamblang kaitannya dalam artikel Rm van Winsen tersebut. Artikel itu saya temukan di archives Maison Mere, Paris pertengahan Juni 2013. 

Romo van Winsen CM mengawali artikel dengan apresiasi kepada karya monumental yang diedit oleh Dr. Muskens, Sejarah Gereja Katolik Indonesia. Menurut van Winsen, dengan mengamini tesis Romo Muskens (beberapa tahun kemudian Uskup), Gereja Katolik Indonesia memiliki ciri khas yang unik. Keunikannya terletak pada realitas bahwa iman Katolik terintegrasi dengan kehidupan kultural Indonesia secara mendalam dan terintegrasi dengan pergulatan politik bangsa Indonesia.

Kata “integrasi” menarik saya mendalami artikel Romo van Winsen CM lebih lanjut. Tesisnya: Apakah “integrasi” iman Katolik dan politik itu tidak memiliki latar belakang yang khas dari pergulatan para misionaris Belanda dengan politik pemerintahan kolonial Belanda? Jawabannya sudah barang tentu ada. Artinya, apa yang terjadi saat ini dalam Gereja Indonesia (Gereja Katolik, bukan Gereja Kristen pada umumnya) memiliki introduksi dari pergulatan para misionaris Katolik Belanda berkaitan dengan pemerintahan kolonial waktu itu. Ini tesis Rm van Winsen CM, seorang misiolog, yang saya amini dalam banyak segi.

 

Gereja Katolik memperjuangkan kebebasannya

Tanggal 20 Maret 1602 merupakan tanggal pendirian VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) dan kelak akan bubar tahun 1800. Disebut “Compagnie”, karena merupakan sebuah “perusahaan”, Perusahaan Dagang “Hindia Timur” (nama untuk Indonesia waktu itu). VOC pada kenyataannya adalah persekutuan para pedagang Belanda, yang membeli rempah-rempah dan menjualnya kembali di Belanda ke negara-negara Eropa. Keuntungan dari VOC luar biasa besar.

Cara memahami VOC hendaknya tidak seperti dalam kisah-kisah di kesenian tradisional Ludruk kita. VOC didirikan, seperti para pedagang Inggris mendirikan yang sama di Calcuta, “British-East India Company” (tahun 1600). Perusahaan yang sama juga didirikan oleh Perancis (1604). Semua perusahaan dagang ini menjadi trend waktu itu setelah mereka melihat kesuksesan Portugis yang sudah lebih dulu memonopoli perdagangan kolonial, termasuk dari Indonesia abad ke 16. Seperti perusahaan dagang Eropa lainnya, VOC mendapatkan hak dagang monopoli dari Ratu Belanda (Belanda adalah sebuah kerajaan seperti seluruh Eropa lainnya). Maka, VOC menjadi semacam representasi pemerintahan Kerajaan Belanda yang sah.

Ketika VOC berdiri, mereka tidak hanya suatu perusahaan dengan banyak kapal dan banyak tenaga kerja, tetapi juga pasukan paramiliter untuk mengamankan lalu lintas dan untuk tugas-tugas lain. VOC menggaji tidak hanya para pegawai melainkan juga para pasukan militernya dan segala biaya perang. Lama kelamaan, di Indonesia VOC bukan hanya perusahaan dagang, melainkan telah menjadi pemerintahan dagang kolonial. Dan, di sana sini selain berdagang, juga berperang dengan masyarakat setempat. Kita menyebutnya dalam sejarah, VOC adalah penjajah. Indonesia pada waktu itu juga tidak satu (belum bersatu), jadi di sana sini ada perdagangan dan kolonisasi. Dari sisi agama, VOC adalah Protestan.

Sejak pendirian VOC semua pelaksanaan peribadatan Gereja Katolik yang sudah ada (di Hindia Timur) dibekukan dan dilarang. Dimana VOC datang di wilayah itu, di sana apa saja yang berkaitan dengan Gereja Katolik dihancurkan. Contoh paling jelas adalah apa yang terjadi di Maluku. Di Maluku VOC tiba, seluruh karya misi Katolik yang dikerjakan oleh Portugis dan Spanyol dihancurkan, baik itu berkaitan dengan gedung Gereja maupun umatnya. Hal ini mengingatkan kita akan karya misioner St. Fransiskus Xaverius dan kawan-kawan yang telah “dimusnahkan” oleh VOC. Perusahaan ini bekerjasama dengan beberapa kerajaan kecil setempat, umumnya kesultanan (Muslim), untuk mengusir atau menghancurkan pusat-pusat misi Portugis dan Spanyol, kecuali di Flores yang kurang disentuh oleh Belanda.

VOC bukanlah perusahaan religius. VOC perusahaan pragmatik dari para pedagang yang mencari untung sebesar-besarnya dengan mengusung hasil rempah-rempah Indonesia ke Eropa. Tetapi, karena di tanah airnya, Belanda, perseteruan agama (sebagaimana di Eropa pada umumnya) waktu itu santer, tidak bisa disangkal pemerintahan VOC juga membenci Katolik di wilayah koloni.

Maka, kebencian VOC terhadap misi Katolik mengalir dari apa yang terjadi di tanah air mereka sendiri, Nederland. Di Nederland Gereja Katolik dianiaya, karena ratu dan pemerintahan adalah Protestan. Kita dibawa ke masa gerakan Protestantisme di Eropa Utara yang berakibat pada kebencian dan penganiayaan terhadap Gereja Katolik (sementara di Selatan seperti Perancis, Katolik melakukan yang sama terhadap komunitas Protestan). Konteks waktu itu adalah perang agama di Eropa. Hal yang sama mengalir di wilayah kolonial, Indonesia.

Pada tanggal 16 Mei 1795, di Belanda berdirilah apa yang disebut “Republik Tujuh Provinsi”. Pada waktu itu dibentuklah Dewan perdagangan untuk Asia. Maksud pembentukan Dewan dagang itu secara efektif menghasilkan dekrit yang membubarkan VOC pada tahun 1800. Kini representasi pemerintahan Belanda di Hindia Timur tidak lagi direpresentasi oleh VOC. Pembubaran VOC konon juga atas korupsi dan kebobrokan moral yang terjadi di dalamnya.

Tahun 1806-1810 Belanda kalah perang dan di bawah kekuasaan Louis-Napoleon, dan menjadi bagian dari kerajaan Perancis; pemerintahan kolonial (di Hindia Timur) yang sah disebutkan dalam Konstitusi tahun 1806. Tetapi setelah Napoleon jatuh, pemerintahan Kerajaan Belanda yang telah dipulihkan membentuk apa yang nantinya disebut “Gubernur Jenderal” sebagai representasi sah dari pemerintahan Belanda. Sebutan “gubernur” untuk menunjukkan seolah-olah wilayah Hindia Timur (Indonesia) merupakan sebuah provinsi jauh dari negara kerajaan Belanda. Pada poin ini, meski halnya sudah mulai sejak VOC, Hindia Timur (Indonesia) seolah telah menjadi “milik” pemerintahan kerajaan Belanda. Belanda tidak hanya berdagang, melainkan menguasai Hindia Timur.

Sementara itu mengenai isu religius di Belanda terjadi perubahan. Sejak tanggal 5 Agustus 1796 diterbitkan dekrit yang menghapus privilese (hak-hak khusus) dari Gereja Protestan. Kebebasan beragama di Belanda mulai dipromosikan. Hal ini diperteguh ketika Belanda ada di bawah Perancis. Meski kekuasaan Perancis sesudah revolusi 1789 sekular, orang-orang Perancis pada kenyataannya Katolik.

Di Hindia Timur (Indonesia) atau wilayah kolonial kebebasan beragama dipromulgasikan sebagai kelanjutan dari apa yang terjadi di Belanda. Dekrit yang menjamin kebebasan beragama ini berasal dari dekrit kerajaan Belanda tanggal 9 Februari 1807, artikel 22 dan 23. Meski sentimen religius di antara umat Protestan terhadap Katolik tidak mudah hilang, paling tidak secara konstitusional, Gereja Katolik di Belanda bisa lebih “bernafas” menghirup angin kebebasan.

Dari sejarah mudah diingat, Gubernur Jenderal pertama, dan itu sangat terkenal, adalah Herman Willem Daendels yang diangkat tahun 1807. Konon perjalanan laut Daendels sangat sulit dan berbahaya, tetapi akhirnya sampai juga berlabuh di Batavia. Sering dikatakan dalam sejarah Gereja Indonesia, Daendels adalah gubernur jenderal pertama yang membolehkan pelaksanaan ibadat Gereja Katolik.[2] Yang pasti ialah bahwa Gubernur Jenderal harus melaksanakan dekrit 9 Februari 1807 artikel 22 dan 23.

Bersamaan dengan dekrit kebebasan beragama itu, pada tahun yang sama 1807, dua Romo diosesan pertama tiba setelah mendapatkan otorisasi sebagai misionaris dari pemerintahan Kerajaan Belanda ke tanah kolonial (tertanggal 4 Maret 1807). Romo-romo itu adalah J. Nelissen dan L. Prinsen. Di Hindia Timur kedua Romo ini mendapat otorisasi dari Gubernur Jenderal dengan segala hak dan kewajibannya seperti para Pendeta Protestan lainnya yang sudah terlebih dulu ada di Indonesia. Dari “hak” itu, antara lain, mereka mendapat gaji dari pemerintahan Belanda, seperti pendeta Protestan. Dari sendirinya, “kewajiban” mereka adalah tunduk kepada pemerintahan kolonial. Keduanya dikirim oleh pemerintahan kerajaan hanya untuk mengurusi iman umat Katolik Belanda.

Sampai di sini, keberadaan umat Katolik Belanda (atau komunitas Katolik Eropa) dijamin oleh konstitusi kolonial. Tetapi, misi Katolik, dengan demikian seolah-olah seperti berada “di bawah” pemerintahan kolonial Belanda. Sebab negara (kerajaan Belanda yang direpresentasi pemerintahan kolonial) yang mengirim para romo misionaris; negara yang menggaji mereka; negara yang menjamin keamanan mereka; dan negara yang menentukan dimana mereka bertugas, apa yang boleh dan tidak boleh dikerjakan. Empat puluh tahun pertama “misi Katolik” atas otorisasi pemerintahan kolonial semacam ini tidak ada masalah runyam, karena misionaris masih sangat sedikit dan mereka hanya bisa melayani keluarga Belanda/Eropa. Para misionaris seperti bisa diangkat dan dipecat oleh pemerintah kolonial. Agama seolah dipahami dalam bahasa Latin, est quasi serva, in vinculis gubernii constricta (sebagai hamba dalam ikatan rantai gubernur).

Pada tahun 1843, saat Batavia menjadi Vikariat yang memiliki tiga paroki (Batavia, Semarang, dan Surabaya), diangkatlah Mgr. J. Grooff yang berasal dari Suriname menjadi Vikaris Apostolik pertama. Terjadilah perkara perseteruan “besar” antara Mgr. J. Grooff dan Gubernur Jenderal J.J. Rochussen. Dan, perseteruan inilah yang kelak akan mengubah tata relasi antara pemerintahan kolonial dan misi Gereja Katolik di wilayah kolonial (Indonesia).

Karena perilaku dua imam misionaris di Surabaya[3] yang kurang sepantasnya dan  konon itu sudah terjadi sebelum berangkat misi ke Indonesia, Mgr. J. Grooff sebagai Vikaris Apostolik membekukan penugasan pastoral mereka. Sementara itu Gubernur Jenderal J.J. Rochussen berpikir lain, hanya dialah (sebagai gubernur) yang bisa mengirim, mengangkat, dan memecat imam Katolik dari tugasnya, sebab keberadaan para misionaris ada dalam otorisasi pemerintahan kolonial. Dari sendirinya, campur tangan Gubernur Jenderal atas otoritas kanonik Vikaris di wilayah kegerejaan tidak bisa diterima. Mgr. Grooff membela habis-habisan kebebasan mutlak otoritas Gereja Katolik dalam urusan perkara kegerejaan di wilayahnya. Konflik rupanya makin besar. Akibatnya, Rochussen memerintahkan Vikaris Apostolik, Mgr. J. Grooff dan dua imamnya untuk keluar dari wilayah koloni Hindia Timur (19 Januari 1846). Sebuah peristiwa yang sangat menyedihkan bagi Gereja Katolik Indonesia pada umumnya, dan secara khusus juga umat Katolik Surabaya.

Perkara konflik besar dari Mgr. J. Grooff dan pemerintah Rochussen di koloni Hindia Timur sampai di telinga umat Katolik di negeri Belanda. Umat Katolik marah dengan pemerintah kolonial, dan Mgr. Grooff disambut dan dipandang sebagai “pahlawan iman” karena keberaniannya menentang campur tangan pemerintah mengenai urusan intern Gereja.

Nuntius Mgr. Ferrieri mengambil inisiatif untuk melakukan mediasi. Mgr. Ferrieri menjalankan negosiasi dengan pemerintahan Kerajaan Belanda. Rupanya, negosiasi tidak sia-sia. Dari negosiasi itu muncullah beberapa peraturan yang berbeda, diantaranya seperti ini:

No. 7. Gubernur Jenderal tidak campur tangan dalam urusan wilayah kegerejaan, kecuali jika perkara Gereja menjadi bahaya atau membahayakan di wilayah dimana dia [Gubernur Jenderal] dimaksudkan untuk menjalankan tugasnya.

No. 8. Perkara Gereja tetap dan selalu menjadi kekuasaan Prelat untuk alasan-alasan yang secara eksklusif menjadi wilayah kewenangannya terutama berkaitan dengan fungsi yuridis spiritual sebagaimana ditetapkan olehnya maupun karena kekuasaannya untuk masalah-masalah kegerejaan. Gubernur Jenderal hanya akan membantu perkaranya, apabila ada dalam hubungan langsung dengan privilese sipil dan halnya dikerjakan setelah didengarkan komunikasi sebagaimana ditetapkan.

No. 11. Para misionaris yang dikirim ke Hindia Belanda harus melengkapi dirinya dengan Surat Radicaal (Formula A); biaya perjalanan mereka ada dalam tanggung jawab Gereja Katolik, tidak lewat pintu kas pemerintahan kolonial; demikian juga mengenai jumlah dan dimana mereka ditugaskan, halnya ada dalam wilayah Gereja Katolik.

Dapat disimpulkan, setelah pertengkaran Mgr. Grooff dan Gubernur Jenderal Rachussen, Gereja Katolik mendapatkan pengakuan prinsip-prinsip kebebasannya. Gereja Katolik tidak lagi terkait secara konkret sebagai “pelayan” pemerintahan kolonial, melainkan “Pelayan Injil”. Dan, karya misi Katolik tidak lagi ada dalam otoritas negara (dan, karena ini terdapat Surat Radicaal) melainkan menjadi kewenangan pemimpin Gereja. Dalam arti ini, Gereja Katolik Indonesia tidak lagi menjadi perpanjangan tangan pemerintahan kolonial Belanda. Konon karena persoalan ini, Gereja Katolik “dipuji” oleh seorang penulis sejarah, Mr. de Graaf (seorang protestan?), telah menjadi “tuan di rumah sendiri.”[4] Menurut Romo van Winsen, pujian itu dianggap berlebih-lebihan.

Contoh, tanggal 10 Maret 1891, Mgr. Luypen SJ, Vikaris Batavia harus mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal W.G.C. Pijnachir Hordijk agar diperbolehkan menempatkan satu atau dua misionaris di Bali.

Sebab, di lain pihak, karena wilayah Hindia Belanda ada dalam kekuasaan pemerintah Kolonial, para misionaris tetap tidak bisa menentukan sendiri ke mana mereka akan mewartakan Injil. Wilayah misioner adalah wilayah kolonial, maka dalam hal ini kewenangan Gubernur Jenderal tidak tergoyahkan. Adalah hak dan kewenangan pemerintahan kolonial untuk menentukan kemana dan dimana para misionaris boleh dan tidak boleh mewartakan Injil. Para misionaris Katolik hanya boleh mewartakan Injil di antara umat Belanda saja! Para misionaris dengan kata lain, karena peraturan ini, dilarang membaptis penduduk setempat.

Ketika terdapat pemberontakan di Yogyakarta dan Surakarta, Romo Scholten mengunjungi pasukan Belanda untuk pelayanan spiritual dan dia tidak menjumpai umat Katolik Jawa. Belum ada pusat-pusat komunitas misi Katolik di sana. Dalam arti ini, tidak mengherankan bahwa Gereja Katolik di Indonesia sampai tahun 1900 lebih merupakan “Gereja kulit putih” atau Gereja Belanda. Atau, bahkan dalam konteks misi Wilayah Surabaya, sampai tahun 1923, umat Katolik Jawa tidak mengherankan hanya ada 40 saja.

Dalam Staadsblad 2 September 1854 artikel 123 terdapat “peraturan baru” mengenai evangelisasi di wilayah koloni, yang oleh Romo Visser MSC (misionaris di wilayah Maluku) dipercayai sebagai semacam “jaminan” negosiasi Mgr. Ferrieri untuk Gereja Katolik mendapatkan kebebasannya dari campur tangan pemerintah kolonial. Dalam artikel itu (123) disebutkan, setiap misionaris atau pastur harus mendapat ijin khusus dari Gubernur Jenderal apabila hendak mewartakan Injil ke suatu wilayah. Secara politis artikel ini diperlukan untuk menjaga “ketenangan” di wilayah kolonial dari kemungkinan konflik religius. Tetapi, jelas artikel ini memiliki imbas “ketidak-bebasan” para misionaris kemana mereka bisa bergerak. Dan, kelak artikel ini juga akan menentukan sejarah peta politik religius di wilayah Indonesia hingga hari ini.

Perlu diketahui, artikel ini tidak disebutkan dalam Surat Radicaal para misionaris. Dalam surat Radicaal misionaris hanya disebutkan Indisch Staatsblad 1856, no. 21 yang berisi privilese pemegang surat tersebut untuk mendapatkan hak-hak sipil dari pemerintahan kolonial. Tetapi, dengan kenyataan bahwa seorang misionaris memegang surat Radicaal (produk dari negosiasi Mgr. Ferrieri tahun 1847), dari sendirinya dia terikat oleh hukum sesudahnya, yaitu artikel 123 dari tahun 1854.

Gubernur Jenderal, karena kewenangan yang mengalir dari Staatsblad 1854 artikel 123, melarang misi Katolik di wilayah-wilayah Aceh dan Batam, juga Banten yang merupakan wilayah Islam dan Bali yang “dikhususkan” untuk umat Hindu.

Artikel 123 dari Staatsblad 1854 juga diberlakukan oleh Gubernur Jenderal untuk “mengatur” agar jangan terjadi “dobel misi”. Maksudnya, misi Katolik dan Zending Protestan jangan sampai berbenturan satu sama lain. Dalam hal ini, tampak dari larangan Gubernur Jenderal untuk membuka sekolah para suster dari “Bois-le-Duc” di Minahasa (1898); juga prinsip mengenai dobel misi untuk Papua (1912-1927). Halnya juga bagi wilayah Sumba, yang hanya diperkenankan di wilayah Laora (1929). Juga untuk satu dua wilayah kepulauan Ambon, yang tak pernah bisa disentuh oleh misi Katolik.

Pelarangan pemerintahan Gubernur Jenderal ini bisa menjelaskan, mengapa setelah martir para misionaris Karmelit Portugis di Aceh (Dionisius dan Redemptus), misi Katolik disana tidak bisa dilanjutkan. Juga, hal yang sama juga untuk realitas mengapa banyak orang Batak Kristen, juga umat Papua Kristen, sementara umat Katolik banyak ada di Flores, yang adalah wilayah Portugis.

Barangkali juga karena alasan ini, Romo van Lith SJ “tidak membaptis” umat Jawa; sebab yang mewartakan Injil di antara umat Jawa adalah para alumni dari Sekolah yang didirikannya. Hal yang sama juga akan kelihatan dari “cara” bagaimana para Romo CM melibatkan para pewarta awam (guru-guru agama) di banyak stasi di Blitar-Kediri, dan Madiun.

Berikut ini beberapa reaksi ketidak-puasan dari para pemimpin misi di Indonesia atas pelarangan dan restriksi pemerintahan kolonial berdasarkan Staadsblad 1854 artikel 123 tersebut:

–       Mgr. Noyen SVD, Prefek Apostolik pertama dari kepulauan “Sunda Kecil” (sebutan waktu itu untuk wilayah dari Bali sampai Timor) secara terus terang menulis protes terhadap artikel 123, yang menghalangi keleluasaan pelaksanaan evangelisasi di wilayahnya. Bahkan untuk mengunjungi daerah Bali tiga kali satu tahun pun atau kurang, dia harus minta ijin Gubernur Jenderal.

–       Romo Visser MSC, yang bertugas di kepulauan Ambon, secara dramatis menulis masalahnya demikian, “Mengapa misi kami cuma ada di pulau-pulau yang kurang signifikan [dari sisi sosiologis-politis]? Ingin tahu masalahnya? Ini disebabkan pemerintahan Hindia Belanda melarang kami bergerak kemana kami mewartakan Injil. Syukur kepada Allah, sebagian besar masyarakat masih tetap setia kepada evangelisasi Katolik. Sebab mereka tahu kami mewartakan Injil bukan atas perintah Pemerintah Hindia Belanda, melainkan karena perintah Kristus, tetapi juga karena atas mandat dari Bapa Paus yang telah mempercayakan wilayah ini kepada misionaris Katolik.

 

***

 

Sampai tahun 1895 para misionaris, yang kedatangannya di wilayah Indonesia (Hindia Belanda) atas otoritas Kerajaan Belanda, praktis hanya mewartakan Injil di antara umat Eropa Katolik. Mgr. Ferrieri pernah meminta CSSR di Wittem untuk mengirim para romonya ke Hindia Belanda, tetapi mereka menolak karena mereka harus menjalankan hidup komunitas, sementara jumlah mereka juga belum banyak.

Pada waktu Mgr. P.M. Vrancken menjadi Vikaris Apostolik (1848-1871), dia meminta Romo Superior Yesuit, A. v.d. Leeuw, untuk mengirimkan para misionarisnya. Romo Yesuit pertama tiba di Jawa tanggal 9 Juli 1859. Dan menjelang tahun 1900 Romo van Lith SJ mendirikan sekolah-sekolah yang kelak menjadi “paradigma” evangelisasi dalam karya misi di Indonesia. Yaitu, evangelisasi lewat pendidikan dan para pelakunya adalah para awam guru.

Kesulitan para misionaris mewartakan Injil selama abad 19 dan awal abad 20 sangat dikondisikan oleh kebijakan politis dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ketika semangat misioner para pewarta Injil berkobar-kobar, posisi kehadiran mereka “dijepit” oleh kebijakan politis Belanda. Diantaranya, terdapat keyakinan pragmatis bahwa mentobatkan orang Indonesia hampir tidak mungkin. Mereka memiliki keyakinan aneh karena keterkaitannya dengan alam. Dan, ditambah lagi, posisi politis dari pemerintaha Hindia Belanda mengenai wilayah-wilayah yang “dilindungi”, seperti Aceh. Profesor antropologi dari Leyden, Snouck Hurgranje, adalah eksponen pemerintah yang darinya posisi politis pemerintah kolonial untuk tidak mengijinkan para misionaris mewartakan Injil di beberapa wilayah berasal.

Tetapi para misionaris Katolik menolak tesis Snouck Hurgranje.[5] Mereka yakin bahwa masyarakat Indonesia memiliki hati yang terbuka akan kebenaran Injil. Lebih lagi, mereka memiliki kerinduan terdalam akan Sabda Tuhan.

Posisi politis pemerintah kolonial ini menjelaskan secara lebih gamblang mengapa umat Jawa Katolik demikian sedikit meski telah sekitar 100 tahun-an Gereja Katolik didirikan di Surabaya. Pada tahun 1923, saat wilayah Surabaya diserahkan oleh Propaganda Fide kepada CM, umat Katolik hanya 40 orang. Para misionaris memang dilarang untuk membaptis yang bukan umat Eropa dan Belanda. Larangan semacam ini kembali kepada sejarah dan aneka ketentuan Staatblad yang diringkas dalam surat Radicaal, yang intinya tetap “mengikat” para misionaris untuk tunduk kepada tata hukum kolonial. Maksudnya, agar para misionaris tetap “tunduk” kepada tatanan pemerintah kolonial. Dan, para misionaris tetap tidak bisa leluasa pergi dan mewartakan Injil kemana pun. Dalam maksud ini, mengapa pulau Madura (Muslim) dan pulau Bali (Hindu) tidak ada pewartaan Injil sejak itu, alasannya dalam sejarah: karena dilarang oleh kebijakan politis pemerintah kolonial.



[1] Ketika pecah perang Diponegoro tahun 1825-1830, seorang pastur dari Jakarta mengunjungi wilayah yang menjadi tempat pertempuran. Dia menulis pengalamannya, bahwa pada waktu itu belum dijumpai komunitas umat Katolik atau sejumlah umat Katolik di Jawa Tengah. Lih. Gerard van Winsen CM, “Motifs de l’assistance missionnaire hollandaise a l’Indonesie (1800-1920)”, in Neue Zeitschrift für Missionswissenschaft, 1974, 52-61. Kenyataan ini menunjukkan betapa kehadiran VOC benar-benar telah menghancurkan karya misi Katolik yang ada sebagaimana itu terjadi di Tidore Ternate dan di tempat-tempat lain dan tidak ada posibilitas untuk melakukan evangelisasi di tempat lain.

[2]Misalnya, lihat Karel Steenbrink, Catholics in Indonesia 1808-1900, Koninklyk Instituut Voor Taal Land (April 2004)

[3] Dari St. Cecilia-Zangkoor, 1838-1938 Onze Lieve Vrouwe Kerk en St. Cecilia-Zangkoor Surabaia (1938), kita bisa tahu nama dari kedua Romo ini. Mereka adalah Romo Thijssen Pr dan Romo Kerstens Pr. Konflik terjadi tahun 1845. “Na pastoor Thijssen kwam spoedig het conflict van het Gouvernementmet den lsten Apost. Vicaris von Indie, Mgr. Grooff. Postoor Kerstens, die met veel toevijding te Serabaia werkzaam was, werd ook verbannen. De Kotholieken van Soerabaia”, zoo wordt vermeld, ,,namen innig deel aan deze droeve gebeurtenis en overhandigden Postoor Kerstens bij zijn uitzetting een hortelijk adres van hulde en erkentelijkheid. Bijna 2 jaren lang bleef Soerabaia van alle geestelijke hulp verstoken. De Kerkdeuren waren verzegeld.. .. . . Het H. Misoffer werd niet meer opgedragen …  het was, als ten tijde van Jeremias: ,,Zie, o Heer, en ontferm U onzer……, zie Uw heiligdom, vereenzaamd, het huis des gebeds en van Uw luister verlaten, waar eenmaal onze Vaderen U lof toezongen” (kronik 1845, hlm. 5). Informasi yang sangat penting ini artinya kurang lebih demikian: Pastur Thijssen konflik dengan Mgr. Groof. Pastur Kerstens juga dibekukan. Umat Katolik Surabaya, demikian disebut, juga mengambil bagian dalam peristiwa yang menyedihkan ini dan dalam pengusiran Pastur Kerstens tanpa hormat dan tanpa ucapan terimakasih. Hampir dua tahun Surabaya tanpa bantuan pelayanan spiritual. Pintu Gereja telah dikunci. Peribadatan suci tidak dikerjakan. Pada saat-saat seperti itulah kita seperti Jeremia yang berseru: “Lihatlah kami dan Kasihanilah kami o Tuhan. Kunjungilah tempat sucimu yang kosong dimana pernah nama-Mu selalu dipuji.”

[4]H.J. de Graaf, Geschiedenis van Indonesië, s’Gravenhage-Bandoeng, 1949, 466.

[5] Lih. Gerard van Winsen CM, “Motifs de l’assistance missionnaire hollandaise a l’Indonesie (1800-1920)”, in Neue Zeitschrift für Missionswissenschaft, 1974, 52-61.

Comments are closed.

The comments are closed. Submitted in: Uncategorized |