Rm Armada Riyanto CM
[Nukilan dari Makalah studi, “Sejarah Hati Misi. 90 Tahun CM Indonesia dan 50 Tahun CM Roma di Keuskupan Surabaya”. Makalah disampaikan dalam hari studi tanggal 23 Januari 2014 di Kepanjen Surabaya]
Ketika lima Romo CM (Congregatio Missionis) pertama tiba di Surabaya tanggal 6 Juli 1923 untuk menggantikan misi para Romo Yesuit, bagaimana keadaan misi Katolik di wilayah Surabaya ketika itu? Pertanyaan ini untuk mengantar kita kepada imaginasi bagaimana para Romo CM atau para Vinsensian atau juga disebut Lazaris ini mengawali misi di wilayah yang kelak akan menjadi Keuskupan Surabaya.
Ada dua sumber historis perihal misi awali para perintis Keuskupan Surabaya ini. Yang pertama berasal dari majalah misi provinsi Belanda yang disebut St. Vincentius a Paulo. Missietijdschrift der Lazaristen; dan yang kedua terbitan CM pusat di Paris yang disebut ANNALES DE LA CONGREGATION DE LA MISSION ET DE LA COMPAGNIE DES FILLES DE LA CHARITÉ. Kedua sumber ini tentu saja menunjuk pada edisi tahun 1923 (yang tak sulit dilacak), saat misi ke Indonesia dikerjakan pertama kalinya. Kedua sumber ini mengatakan hal reportase yang sama dan bahkan juga kalimat yang sama atau serupa. Maka, keduanya berasal dari satu sumber.
Apa yang dikatakan oleh kedua sumber ini? Yang diceritakan ialah kisah bagaimana informasi pertama misi ke Indonesia ini disampaikan; bagaimana keadaan awal kondisi misi Katolik di Surabaya; berapa luas wilayah, berapa jumlah penduduk, berapa jumlah umat.
Pada tahun 1923, yang menarik, diinformasikan bahwa di seluruh wilayah misi Surabaya dan sekitarnya umat Katolik dari Jawa masih hanya 40 orang! Sesedikit itu? Saya berusaha menelisiknya dari sumber-sumber historis untuk menyimak informasi ini.
Pada waktu itu, misi ke pulau Jawa ini disebut misi ke “Öost Indie” atau “mission des Indes Orientales” (atau Hindia Timur). Tahun 1923 sebutan “Indonesia” belum muncul. Dalam frase pertama laporan di Annales dikatakan bagaimana Romo Superior Jenderal memberikan kabar kejutan yang menyenangkan sekaligus menggetarkan bagi para konfrater provinsi Belanda. Dan, itu dikatakan di awal tahun dalam “circuler”-nya (semacam surat edaran). Kejutan itu berupa sebuah “harapan” dari Romo Jenderal, Romo Verdier CM, bahwa Provinsi Belanda, setelah memiliki misi di Vicariat Yungpingfu (Cina) dibawah kepemimpinan Mgr. Geurts CM, diharapkan segera pula melanjutkan semangat misinya yang berkobar-kobar ke pulau Jawa.
Kalimat sederhana itu, harapan Romo Jenderal, bila dibaca oleh para konfrater Belanda yang pada waktu itu sangat terkenal karena semangat misionernya,[1] tentu saja merupakan sebuah “berita luar biasa” yang ditunggu-tunggu dengan kerinduan besar untuk segera direalisasikan. Para Vinsensian atau Romo Lazaris atau para Romo CM Belanda adalah para misionaris. Seminari Tinggi CM, St. Jozef, di Panningen, pada waktu itu merupakan seminari dari para misionaris. Romo Vic Groetelaars CM, misalnya, yang berkali-kali menjadi provinsial Belanda, pernah bilang kepada saya, bahwa ketika dia mendaftarkan diri masuk seminari dan ingin menjadi misionaris ke romo parokinya (projo), spontan romo parokinya mengatakan agar dia ke Panningen!
Dikatakan lebih lanjut, bahwa perutusan misi ini atas panggilan Kardinal van Rossum CSSR, Prefek Kongregasi Propaganda Fide; dan bahwa kedatangan para misionaris CM sudah ditunggu oleh Vikaris Mgr. Luypen S.J. (Vikaris Batavia) segera setelah Paskah (tahun 1923). Kepada para misionaris CM, diserahkan tiga karesidenan: Surabaya, Rembang, dan Kediri.
Sedikit perlu diketahui, Kardinal Willem Marinus van Rossum adalah seorang redemptoris (CSSR), mantan rektor seminari tinggi di Wittem, Belanda. Secara pribadi Kardinal ini dikenal luas memiliki perhatian yang besar kepada pewartaan Injil di Asia, khususnya di Indonesia. Dialah Prefek Kongregasi Propaganda Fide yang “mengutus” para misionaris untuk giat menanamkan Gereja di Indonesia setelah sekian ratus tahun iman Kristiani dibawa oleh para misionaris awali.
Untuk lebih gamblangnya mengenai gambaran daerah misi baru itu (bagi para calon misionaris Belanda), disebutkan informasi bahwa ketiga daerah itu (karesidenan Surabaya, Kediri, dan Rembang) 20.000 km2 luasnya, kira-kira dua per tiga negara Belanda. Jadi, wilayah itu sangat luas! Jumlah penduduk 6 juta, dengan komposisi 5 juta lebih orang Jawa, 60 ribu Cina, dan 15 ribu orang Eropa. Menurut informasi terakhir terdapat 4.600 umat Katolik, terdapat 40 umat Katolik Jawa. Umat Katolik lainnya berasal dari Eropa, Cina/Tionghoa dan orang asing di luar yang disebutkan.
Dalam ANNALES, laporan tentang misi di “Indes Orientales” (Indonesia) dipublikasikan pada edisi bulan Juli 1923. Ini berarti para misionaris pertama CM Belanda telah tiba di Surabaya. Mereka adalah Romo Theophile de Backere CM sebagai superior (sebelumnya dia adalah direktur Seminari St. Vincentius de Paul di Wernhoutsburg), Romo Emile Sarneel CM (sebelumnya dia dosen di Wernhoutsburg), Romo Jan Wolters CM (sebelumnya bertugas sebagai kapelan di Rumpen), Romo Cornrille Klamer CM (yang berangkat dari Yungpingfu, Cina, dia berkarya lima tahun di sana, dan bertemu keempat romo lain di pelabuhan Singapora).
Disebutkan pula, bahwa perjalanan kelima misionaris CM pertama ke Surabaya 1923 ini merupakan “NAPAK TILAS” Romo Yohanes Gabriel Perboyre CM, yang singgah di Surabaya tahun 1835, sebelum melanjutkan perjalanan misi ke Cina dan menjadi santo martir pertama Cina. Kita bisa membayangkan, betapa para misionaris ini digelorakan tidak hanya untuk mewartakan Injil, melainkan juga memiliki model semangat misioner, Santo Yohanes Gabriel Perboyre. Perlu diketahui, Yohanes Gabriel Perboyre menulis surat kepada pamannya dari Surabaya dan mengisahkan tentang keindahan kota Surabaya dan sekitarnya. Kelak, para misionaris ini akan mengukir nama Yohanes Gabriel dalam aktivitas misionernya. Yayasan “Yohanes Gabriel” adalah contohnya. Sayang, nama ini belum terukir sebagai nama sebuah paroki, kata Romo Silvano Ponticelli CM, misionaris Italia yang berkarya di Ponorogo dan Tulungagung serta Seminari Tinggi CM Malang dan paroki Kristus Raja, Surabaya.
Sebelum berangkat, para misionaris CM pertama bukanlah romo-romo “biasa”, mereka belajar dan mengikuti perkembangan karya misi para pendahulu dan juga misi Zending Kristen di Jawa lewat sebuah majalah yang disebut Annales de la Mission. Misalnya, bagi para misionaris, perkembangan daerah kekristenan seperti Mojowarno, Jombang, sudah mereka ketahui sejak sebelum berangkat. Demikian juga, karya-karya pendidikan Romo van Lith SJ sudah mereka dengar dan baca sebelum perjalanan misionernya ke Indonesia. Lebih dari sekedar tahu dimana Hindia Timur, bagi para misionaris “Indes Orientales” adalah sebuah tanah harapan, tanah terjanji, wilayah yang subur bagi benih-benih Injil. Kelak, dalam beberapa tulisan mereka, sebutan-sebutan semacam ini akan cukup sering muncul.
Bahwa para Romo CM diserahi wilayah Surabaya, hal itu mereka pandang sebagai “Penyelenggaraan Ilahi”. Mereka mengenal Surabaya lewat berita-berita, bahwa kota ini memiliki prospek masa depan yang cerah. Mereka dianugerahi, mereka tidak memilih. Adalah Kardinal van Rossum yang berkata kepada Provinsial CM Belanda, Romo Harie Romans CM, bahwa para romo Yesuits telah memilih bagi mereka dua wilayah yang menjadi fokus misi, yaitu Jawa sentral (Jawa Tengah) dan Batavia (Jakarta).
Kembali kepada pertanyaan awali di atas, apakah pada waktu para misionaris CM pertama datang tahun 1923, umat Katolik Jawa hanya berjumlah 40 orang saja?
Ada laporan menarik tentang statistik umat dari dua sumber berbeda. Yang pertama, dari Katholieke Gids edisi 1934 dst yang mengisahkan sejarah misi Surabaya dari 1810-1923; dan kedua, dari sejarah misi di Surabaya yang ditulis oleh Dr. J.C. Haest CM, dengan judul De Geschiedenis der R.K. Kerk te Soerabaja van 1906-1931 (ketikan). Kedua sumber ini dipakai sebagai bahan tulisan tentang “Sejarah Gereja Katolik di Wilayah Keuskupan Surabaya” oleh Romo Piet Boonekamp CM yang diterbitkan oleh H. Muskens dalam Sejarah Gereja Katolik, Indonesia.
Dari kedua sumber ini diketahui bahwa Gereja Katolik di Surabaya selama banyak tahun dilayani oleh dua Romo Yesuit (maksudnya sejak 1859). Maklum Surabaya merupakan SATU paroki saja. Karena wilayah begitu besar, sementara pekerja di ladang anggur Tuhan hanya ada dua saja, maka seluruh perhatian dan tenaga tercurah untuk pelayanan umat Katolik Eropa, Belanda saja. Tak bisa diandaikan bahwa pewartaan Injil di wilayah Surabaya bisa menjangkau pribumi atau umat lain di luar Belanda/Eropa. Semata karena jumlah imam yang hanya dua. Tetapi, bahwa Injil tidak sampai ke hati masyarakat pribumi bukan pertama-tama karena kurang tenaga, melainkan karena hukum kolonial. Hukum kolonial melarang penginjilan kepada masyarakat pribumi.
Pada tahun 1900, UNTUK PERTAMA KALINYA dicatat ada umat Katolik pribumi sejumlah 10 orang. Dan, untuk selanjutnya pertambahan jumlah umat Katolik pribumi (Jawa) kurang kelihatan. Dan, di tahun 1921 (kurang dua tahun para Romo CM pertama tiba di Surabaya), dalam laporan statistik disebutkan terdapat 25 umat Katolik pribumi dan 10 umat dari Timur Asing. Dan, jika waktu itu paroki di wilayah Surabaya hanya terdapat satu saja, wilayah paroki ini (paroki Surabaya tersebut) meliputi hingga Banyuwangi, Madura, Kalimantan Selatan dan Timur dan juga Makasar, Bali, dan bahkan Lombok. Jadi, wilayahnya sangat luas tetapi pekerjanya sangat sedikit. [Cf. Piet Boonekamp, CM, “Sejarah Gereja Katolik di Wilayah Keuskupan Surabaya”, dalam Sejarah Gereja Katolik Indonesia, 3b, 949+).
Jadi, informasi dari Propaganda Fide yang dipublikasikan ANNALES edisi Juli tahun 1923: masih terdapat 40 orang Jawa saja di Surabaya yang memeluk iman Katolik, halnya sungguh demikian adanya. Dan, barangkali juga karena “perlambatan” perkembangan jumlah umat inilah yang membuat Kardinal van Rossum CSSR, Prefek Propaganda Fide, meminta kepada Romo-Romo Yesuit untuk menyerahkan wilayah misi kepada beberapa kongregasi/ordo, diantaranya kepada CM di wilayah Surabaya dan Karmel di Malang dan sekitarnya.
Tanggal 6 Juni 1923 para misionaris kita berangkat dari pelabuhan Genova. Tanggal 30 Juni 1923 kapal Johan de Witt yang membawa para Romo CM pertama (dan Karmel) berlabuh di Batavia. Dan, untuk selanjutnya para Romo CM perintis keuskupan Surabaya ini meneruskan perjalanan ke Surabaya lewat darat dengan kereta api sambil menikmati pemandangan alam pertanian Jawa dan ragam alam nan indah.
Seperti dikatakan di atas, yang berangkat dari Belanda empat Romo: Dr. Theophilus de Backere CM, Emile Sarneel CM, Jan Wolters CM, dan Theodore Heuvelmans CM, serta seorang dari Cina, Cornrille Klamer CM.
Mengapa diantara kelima perintis CM dan keuskupan Surabaya ini, ada Romo yang datang dari Cina (yaitu, Romo Klamer)? Karena di wilayah Surabaya terdapat umat Katolik dari suku Tionghoa (Cina) yang berbahasa Mandarin. Diperlukan seorang imam yang bisa berbahasa Mandarin untuk melayani mereka. Pada tahun-tahun itu, bahasa yang secara umum dipakai berlaku untuk semua masih belum ada. Bahasa yang dipakai berkomunikasi di wilayah Surabaya: Bahasa Belanda, Inggris, Jawa, Cina, dan bahkan Arab (oleh sebagian komunitas orang Arab di kampung Arab, Kembang Jepun). Umat Tionghoa berbahasa Mandarin; umat Katolik Eropa (mayoritas) berbahasa Belanda; umat Jawa (yang masih hanya 40 orang) dari sendirinya berbahasa Jawa. Komposisi penduduk semacam ini direspon dengan strategi misioner sedemikian rupa oleh para Romo CM perintis Gereja keuskupan Surabaya.
Kelima Romo CM perintis Keuskupan Surabaya ini membagi diri dalam tugas-tugas misi pastoral yang spesifik, di antaranya: Romo Heuvelmans melayani umat yang berbahasa Belanda; Romo Klamer untuk umat Tionghoa dan menjadi pastor paroki Hati Kudus Yesus; Romo Sarneel menjadi pastor rekan di Paroki; Romo de Backere menjadi Romo Superior; sementara Romo Jan Wolters, yang muda dan energik tidak diberi tugas apa-apa kecuali melakukan perjalanan keliling ke desa-desa untuk mewartakan Kabar Gembira kepada umat Jawa.
Para misionaris belajar bahasa Jawa. Seorang diantara kami, Rm Jan Wolters, dilepaskan [dari beban pelayanan kepada umat Eropa], ia berminat secara khusus untuk penduduk Jawa di pedalaman. Dia secara terus-menerus berkeliling melakukan misi di seluruh wilayah kami yang luas itu. Ia melintasi daerah-daerah pedalaman, mengunjungi sekolah-sekolah desa untuk melihat pelajaran agama para katekis pada anak-anak itu. Ia merayakan Ekaristi di kapel-kapel misi, mengunjungi kantor-kantor pemerintahan, keluarga-keluarga Katolik, memberkati perkawinan, membaptis anak-anak, berkotbah dan mendengarkan pengakuan dosa, melintasi sawah-sawah, perkebunan-perkebunan kopi dan tebu, hutan, sungai, lembah dan gunung. Setelah lelah biasanya ia kembali kepada kami, beristirahat 2 atau 3 hari dan memulai pekerjaan yang sama tetapi ke arah yang lain. – Tulis Rm de Backere CM, Pemimpin Misi Surabaya (1926)[2]
Kelak Romo Jan Wolters ini akan “dibantu” oleh Romo-Romo muda yang sangat giat yang datang ke Indonesia satu dua tahun berikutnya, di antaranya Romo van Megen CM (yang datang tahun 1924) dan Romo Anton Bastiaensen (yang tiba tahun 1925). Mereka bertiga sangat giat belajar bahasa Jawa dan bertugas secara khusus mendirikan dan melayani stasi-stasi umat di daerah Blitar, Kediri, dan Rembang. Romo Jan Wolters kelak kita kenali sebagai Romo yang mendirikan Gereja Katolik Pohsarang, sebuah Gereja yang memadukan secara indah khasanah iman Katolik dengan kekayaan dan kearifan kebudayaan Jawa.
Bukit-bukit menggelombang dan sungai-sungai berkelok-kelok menuju laut. Pegunungan selatan yang indah membentang luas, sunyi, gersang dan miskin. Di balik hutan lebat, yang menutupi pantai selatan, kami mendengar deburan ombak menggulung, pecah menghantam karang pantai. Juga di daerah itu Misi memiliki beberapa sekolah kecil. Di antara sedikit penduduk pegunungan yang sederhana itu, kabar gembira Injil mendapat sambutan. Ketika kami beberapa tahun lalu menjelajahi daerah itu, bahkan nama Katolik atau Romo belum dikenal. Sekarang, pada kunjungan kami terakhir, dipersembahkan Misa agung dan sejumlah umat menyambut, sedangkan para katekumen dan yang ingin tahu pun datang melihat … Oh tanah gersang selatan ini rupanya cocok untuk biji sesawi Injil. Rumah bambu yang luas itu dengan segera penuh. Mereka duduk di tikar. Di sisi yang satu, duduk bapak-bapak dan di sisi yang lain ibu-ibu dan anak-anak. Setelah saling menyapa, mula-mula dihidangkan kopi yang hitam pekat dan lezat manis. Kemudian menyusul pelajaran. Satu setengah jam mereka mendengarkan misisonaris dengan penuh perhatian, yang dengan contoh-contoh dari sekeliling lingkungan mereka berusaha menerangkan kebenaran-kebenaran yang luhur dari “agama baru” itu.
Perjalanan pulang ke tempat tinggal kami sementara di Sumberboto tidaklah mudah. Hari sudah gelap. Hujan telah menjadikan semuanya berlumpur dan kerbau-kerbau dengan kakinya yang besar dan berat itu telah membuat kubangan-kubangan di jalan. Sekali-kali kami merasakan cipratan air kotor ke arah kami. Lumayan. Kalau kami [Rm van Megen dan Rm Wolters] tiba di rumah, kami akan memutuskan siapa di antara kami berdua nampak paling tampan, haaha! Tuhan memiliki misionaris bermacam-macam jenis: “Misionaris-aspal” di kota-kota, “Misionaris-lumpur” di desa-desa; namun kami semua harus bekerja keras.
Pagi-pagi umat sudah hadir. Banyak pria, wanita dan anak-anak yang datang dari jauh untuk menghadiri Misa dan menerima Sakramen. Penduduk sekitar membantu kami menghiasi serambi dengan daun-daun dan bunga. Koper Misi kami jadikan altar. Di lantai tanah digelar tikar dan umat dapat duduk bersila. Ruang kecil yang kemarin masih sebagai dapur menjadi kamar pengakuan. Akhirnya Romo Bastiaensen dari Blitar datang untuk mengadakan Misa Agung. Kehormatan semacam ini belum pernah terjadi di daerah selatan. Betapa khusuk suasana umat dan katekumen dan betapa besar besar perhatian orang di luar halaman. Khotbah Romo van Megen dalam bahasa Jawa menjelaskan kebahagiaan, hak, namun juga kewajiban dan tanggungjawab masyarakat Katolik yang muda dan tentang para kepala petinggi Katolik. Suara tersebut terdengar sampai pada kerumunan di luar, mungkin sebagai awal rahmat pertobatan. Setelah doa penutup syukur, kepada mereka kami sajikan secangkir kopi yang nyaman dan kue manis dari tepung beras. – Tulis Romo Jan Wolters (1934)
Dan di bawah ini penuturan Romo Jacob Bruno CM, paman Romo J. Klooster CM, saat mengikuti perjalanan Romo van Megen CM ke desa di Blitar Selatan.
Apakah kita besok akan mengunjungi sekolah-sekolah desa kita di daerah selatan? Tanya Romo van Megen … Esoknya kami jalan. Jalan memang hampir tak dapat dilewati. Selain tanah liat yang kuning kapur, masih ditambah jalan membelok menanjak yang dilewati sapi-sapi yang lari ke sana ke mari … Romo Wolters bersepeda dengan giat bersama dengan Rom van Megen ke Kali Grenjeng, Sumberboto. Saya memperoleh banyak kesempatan membayangkan kelelahan yang mereka alami setelah perjalanan-perjalanan semacam itu … Setelah Misa, mulailah dengan pelajaran agama. Romo van Megen melakukannya dengan serius. Selama tiga perempat jam ia mengajar dalam bahasa Jawa sangat lancar. Pelajaran agama sudah selesai, sekarang pembagian gambar-gambar, pada setiap gambar ada salah satu cerita. Santo Isidorus, pelindung para petani menjadi pusat perhatian dan diterima dengan “inggih-inggih” yang lantang dalam kelompok. – Tulis Rm Bruno CM ketika ikut Rm van Megen ke desa (1932)
Sementara itu, Romo Herman Kock CM, mengisahkan bagaimana mengawali sebuah misi di wilayah Mojokerto:
Sore hari dan malamnya kami segera melakukan kunjungan. Kunjungan kemana? Ke pemimpin masyarakat, ke Asisten Residen, ke kepala-kepala sekolah atau guru-guru sambil berpesan agar para murid datang ke Katekismus. Bagaimana itu semua dilakukan? Dengan naik kereta api, atau dokar atau kuda, atau numpang mobil umat (Belanda) atau kunjungan dengan sepeda atau jalan kaki. Esok hari-nya setelah Misa kudus di gereja Mojokerto yang kecil dan mungil, pembagian tugas dibicarakan. Romo Wolters mengunjungi pabrik-pabrik gula; saya memberikan pelajaran Katekismus dan sore harinya kunjungan keluarga lagi. Kami dapat mengunjungi 80 keluarga! Kunjungan umat lebih berguna [lebih efektif] daripada kotbah di gereja. Tengah malam kami menyudahi kunjungan, dan kembali ke pondok, mengaso dan membuat persiapan untuk esok harinya dan dengan demikian tugas sehari-harinya selesai. – Cerita Rm Herman Kock CM saat tugas pertama di Mojokerto bersama Rm Wolters (1924)
Yang jelas strategi misioner para perintis Keuskupan Surabaya jauh lebih kompleks dari yang bisa dibayangkan sebagai sebuah seri aktivitas kunjungan umat dan memberi pelajaran agama kepada para calon baptis.
Dalam kaitannya dengan “strategi misioner”, yang paling mengharukan untuk diingat ialah apa yang diceritakan oleh Romo Anton Bastiaensen CM perihal “cinta mati” (cinta yang sangat besar dan berkobar-kobar) dari Mgr. de Backere CM kepada umat yang kelak akan disebut keuskupan Surabaya ini. Mgr de Backere CM selalu memberi semangat kepada para misionaris muda yang baru tiba agar belajar bahasa Jawa dengan giat dan rajin. Mengapa? Sebab, bila hanya tahu bahasa Belanda, “Romo hanya bisa berkomunikasi dengan 5 ribu-an orang saja” (orang Belanda di Surabaya sekitar itu jumlahnya atau lebih), tetapi “apabila Romo belajar bahasa Jawa, Romo akan bisa berkomunikasi dengan 5 juta-an manusia lebih!”
Konteks himbauan Mgr de Backere CM ini sudah barang tentu klop dengan pesan dari Propaganda Fide untuk mewartakan Injil tidak hanya kepada umat Belanda/Eropa melainkan juga kepada umat suku Tionghoa, dan terutama umat pribumi, Jawa. Belajar bahasa berarti belajar “kebudayaan”, belajar kehidupan sehari-hari, belajar “hati-diri” terdalam dari masyarakat.
Inilah yang barangkali harus dikatakan sebagai “strategi misioner”, yaitu bahwa pewartaan Injil haruslah menyentuh “hati-diri” terdalam dari masyarakat. Yaitu, pertama-tama hidup setiap misionaris adalah cinta itu sendiri. Bahwa para romo CM sungguh mencintai perutusan misioner dari Gereja; bahwa mereka meninggalkan keluarga, sahabat, teman di negerinya untuk sebuah cinta kepada umat di wilayah Surabaya; bahwa mereka memberikan dirinya, cintanya kepada umat di sini; bahwa tidak ada kata lain yang tepat untuk melukiskan motivasi mereka pergi mewartakan Injil dan membangun umat serta keuskupan ini di luar cinta.
Strategi berikutnya adalah belajar bahasa umat yang mendapat pewartaan Injil. “Bahasa” bukan hanya alat komunikasi, melainkan pertama-tama cetusan kultural dan relasional manusia. Para Romo CM perintis Keuskupan Surabaya mewartakan Injil dengan cara “menerobos” relasi hingga pada level kedalaman ini. Kelak, karena strategi misioner semacam ini, para misionaris perintis kita dikenal sebagai “wong Londo sing pinter basa Jawa” (orang Belanda yang pandai berbahasa Jawa) atau “Londo sing jawani” (orang Belanda yang paham kebudayaan Jawa).
[1] Untuk menggambarkan semangat misioner konfrater Belanda, barangkali cukup diketahui dari statistik tahun 1937. Pada waktu itu di Belanda total ada 227 anggota CM (novis 35 orang; frater studi 50 mahasiswa!). Dari jumlah 227 anggota, imam semuanya 123. Dari 123 imam, yang tinggal di Belanda hanya 48, sementara yang pergi misi sejumlah 75 imam. Lih. St. Vincentius a Paulu, Missietijdschrift der Lazaristen 1937.
[2] Lih. St. Vincentius a Paulo. Missietijdschrift der Lazaristen, 1926.