Misionaris di-internir

 

SAAT MISIONARIS DI-INTERNIR JEPANG

 

Di awal bulan September 1943 para misionaris CM diculik dari tempat tugas masing-masing, Surabaya, Blitar, Kediri, Mojokerto, Madiun, Cepu, dan lain-lain.  Mereka diciduk tentara Kempeitai (polisi tentara Jepang) dengan truk. Yang tugas di Surabaya dibawa ke penjara Bubutan sampai lima bulan. Awal tahun Januari 1944, semua misionaris Belanda dibawa dengan kereta api yang buruk dan pelan jalannya ke Cimahi, Bandung. Mereka dijebloskan ke Internir (kamp konsentrasi). Tinggal di barak-barak jelek. Makanan buruk, mengalami rupa-rupa penganiayaan. Romo van Goethem CM dihajar Kempeitai hingga tidak bisa jalan, karena saat pasturan Madiun digeledah, dijumpai bendera Jepang di gudang (harusnya di ruang tamu!). Saat pembebasan, Romo van Goethem tinggal kulit dan tulang saja. Romo Gerard Boonekamp CM  dihukum berat secara fisik dan mengalami penganiayaan yang bertubi-tubi, karena dituduh menyembunyikan tentara Australia yang terluka, dan diadili serta dijatuhi hukuman mati. Karena pembelaan dan intervensi Mgr. Willekens, hukuman diubah 15 tahun. Pembelaannya: Romo Gerard CM melakukan pertolongan kemanusiaan, tentara Australia itu terluka (butuh perawatan). Romo van Megen CM hampir mati, karena kekurangan gizi, tetapi “diselamatkan” tikus. Teman-teman misio-naris mencarikan tikus di barak-barak, dan mema-saknya untuk tambahan gizi. Mgr. Verhoeks CM menderita karena makanan buruk dan sejak itu ia mengidap asma berat sampai akhir hidupnya (1952). Romo Schilder CM menderita sekali, hingga saat berobat ke Belanda tidak lagi kembali ke Indonesia. Romo Sjef Mensvoort CM, meski tetap semangat, secara fisik lemah setelah interniran. Romo Gerard van Ravesteijn CM, pembimbing rohani Angkatan Laut, gugur di laut Jawa, karena kapalnya kena torpedo Jepang.  Romo Jacob Bruno CM, paman Mgr Klooster CM, wafat di Makasar.

 

 

 

 

SAAT KARYA MISI HANCUR

 

 

Ketika para misionaris CM semuanya (26) diinternir Jepang. Banyak stasi di wilayah Blitar, Kediri, dan Madiun terlantar. Cukup banyak komunitas umat di desa-desa wilayah Blitar yang tidak bisa dipulihkan lagi iman Katoliknya. Setelah perang usai, para misionaris tidak memiliki kekuatan fisik yang memadai untuk mengunjungi stasi-stasi dan meng-hidupkan iman umat. Mereka harus memulihkan kesehatan, dan pulang ke Belanda. Sebagian tidak bisa kembali ke Indonesia, tetapi yang kembali bekerja di Vikariat Surabaya tidak cukup kuat lagi ke stasi-stasi seperti sediakala sebelum perang.

 

Stasi-stasi yang terbengkelai selama pendudukan Jepang hampir semua, kecuali Slorok (Blitar) yang bertahan dan hidup (laporan Dr. Jan Haest CM dalam Tien Jaar Missie 1945-1955). Sementara yang terbengkalai di Blitar dan Kediri: Gabroe (Wlingi), Kaligrenjeng, Gunung Gedhe, Sumberboto, Tam-bak-Pasiraman, Gayam, Pikatan, Gemblongan, Petungombo, Gandusari, Rotorejo, Bambingan, Ngeni (baru pulih kembali tahun 1965-an) dan masih banyak lagi.

 

“Karya misi yang telah bertahun-tahun kami bangun, kini hancur…” (Ratap Romo Anton Bastiaensen CM, salah satu pendiri banyak stasi di Blitar)

 

 Rm. Armada Riyanto CM.


 

 

Comments are closed.

The comments are closed. Submitted in: Uncategorized |