“PERIODE GELAP/DERITA” MISI (1942-1947)
SAAT MISIONARIS DI-INTERNIR JEPANG & HANCURNYA GEREJA KEPANJEN DAN KARYA MISI DI DESA-DESA
+
Surat Mgr. Verhoeks CM, Vikaris Surabaya, tanggal 8 Maret 1947 kepada Paus Pius XII di Roma, mengabarkan keadaan Vikariat Surabaya dan para Romo-nya pada waktu di Interniran:
“Bapa Suci … Selama bulan-bulan pertama pendudukan Jepang Gereja umumnya tidak mendapat gangguan [Jepang masuk Surabaya sekitar akhir tahun 1941]. Tetapi sekolah-sekolah terpaksa segera tutup [sebab diambil dan diduduki]. Tanggal 4 September 1943 saya bersama-sama dengan semua imam dan rohaniwati Belanda lainnya ditangkap dan ditahan di Surabaya sampai lima bulan. Kami mengalami banyak penderitaan, tetapi masih bebas dapat merayakan Ekaristi.
Akhir Januari tahun 1944 kami semua dipindahkan ke Bandung [Interniran Cimahi]. Hampir semua misionaris dari seluruh Jawa dikumpulkan di Bandung dan ditahan di berbagai rumah penjara. Pada permulaannya kita masih diperbolehkan dan bisa mengadakan kebaktian agama, tetapi lama-kelamaan kebebasan itu dihapus sama sekali, malah dilarang. Namun imam-imam masih dapat bergantian mempersembahkan Misa [secara sembunyi-sembunyi], diikuti sesama tahanan, baik Katolik maupun tidak Katolik. banyak orang bertobat kembali karena mendengarkan khotbah. Saya sendiri beberapa kali menerimakan sakramen pengampunan kepada orang-orang yang baru bertobat. Tak seorang imam kita meninggal, sekalipun banyak yang menderita sakit berat di Interniran … [Ada dua gugur, Rm van Ravesteijn CM di laut Jawa dan Rm Bruno CM di Makasar]
Ketika Jepang sudah menyerah, [awal September 1945] saya pulang ke Surabaya. Dan akhir September [1945] hampir semua misionaris kami sudah dibebaskan kembali. Masing-masing kembali ke tempat pekerjaannya dahulu sebelum perang. Mereka mulai bekerja lagi meskipun banyak di antara mereka itu sangat membutuhkan istirahat, karena sangat lemah dan letih.
Tetapi tak lama kemudian di antara kami banyak yang masuk tahanan lagi, sekarang di penjara barisan tentara rakyat revolusioner, berhubung dengan pecahnya revolusi: 4 misionaris di penjara Surabaya, 4 di Madiun, 3 di Blitar, 3 di Kediri dan 1 di Mojokerto. Di antara mereka itu – yang disebutkan pertama – hanya ditahan selama 1 bulan, sedang yang lainnya sampai 1 tahun baru dibebaskan kembali. Dua orang misionaris dengan suka rela tetap tinggal di Madiun dan seorang lagi di Blitar. Gereja besar yang dibangun dalam tahun 1900, Gereja Kelahiran Santa Maria, habis terbakar pada tanggal 12 November 1945. Bangunan-bangunan misi lainnya sebagian besar rusak. Ada yang rusak parah, ada yang rusak kecil. …”.
+
Surat Romo Henri van Megen CM, Superior Misi CM kepada Jenderal CM di Paris, Prancis, yang dimuat di Annales tahun 1952:
[Sesudah tahun 1942], apakah misi kami lenyap? Apa yang tersisa di tahun-tahun invasi Jepang, saat para misionaris dijebloskan ke kamp interniran yang mengerikan [horribles] karena yang ada hanyalah kelaparan, penyakit, dan segala derita? Ketika itu, dua imam Jawa dari Semarang datang membantu melayani beberapa komunitas dan umat yang tersisa [di Vikariat Surabaya]. Semua sekolah kami [yang kami dirikan], lebih dari seratus sekolah yang menampung kurang lebih sembilan ribu murid, semuanya hancur, hanya empat atau lima sekolah yang bisa segera dipulihkan.
Selama perang empat tahun ini [1941-1945] kehancuran yang terjadi sungguh luar biasa. Para konfrater terancam pembunuhan, sementara yang lain dijebloskan ke penjara lebih dari satu tahun. Pada tahun 1946, kota Surabaya yang sebelumnya merupakan kota yang sangat padat, menjadi seperti padang gurun. Ribuan penduduk lari atau mengungsi dari kota Surabaya. Orang-orang Belanda yang telah bebas dari internir mulai kembali ke Surabaya dan mengais apa yang yang tersisa. Dan, dari segala kehancuran yang ada, gereja terindah yang ada di Surabaya telah dibakar (November 1945) dan gereja di Jombang. Dan banyak rumah religius yang telah diduduki juga mengalami kerusakan... Banyak misi kami [stasi-stasi di Blitar, Kediri, Madiun], banyak gereja dan kapel, dan banyak sekolah hancur.
+
Romo Anto Bastiaensen CM, pendiri banyak stasi di Blitar, “menangis” di makam Mgr. De Backere CM, Prefek Surabaya:
Monseigneur, saya berdoa, menangis. Kami para misionaris CM di Jawa sedang dirundung kesusahan yang amat dalam, kami terpukul oleh kehancuran misi yang telah engkau rintis dengan susah payah. Kami hampir putus asa. Engkau yang begitu mencintai misi di Jawa, di sana Engkau telah berdoa, menderita, berjuang, bekerja lebih berat dari pada kami saat ini. Jadilah Engkau pengantara kami pada Tuhan, agar kami tetap berada di jalan yang telah engkau tempuh, tanpa gentar, tanpa kenal lelah, sekali lagi. – MISSIEFRONT, Februari 1948, 2-6.
+
DAMNA EX BELLO ORTA – KEHANCURAN KARENA PERANG
Laporan Romo Joseph Lansu CM, Provinsial Superior CM Belanda, kepada Jenderal CM di Paris, 20 Juni 1947.
Di Vikariat Surabaya, Jawa: Seorang imam wafat dengan kapalnya di Laut, dihantam torpedo Jepang. Hilang: semua (26 misionaris CM), mereka dibawa ke kamp internir Cimahi bersama seluruh warga Belanda. Total kerusakan di Vikariat dalam estimasi US$: harta immobiliaris: lebih kurang 300.000 US$; mobiliaris: lebih kurang 260.000 US$; Total: 560.000 US$.
===================================================================
[Rm Armada Riyanto CM]
The comments are closed. Submitted in: Uncategorized |